Senin, 24 Maret 2014

Pentingnya Aplikasi Tasawuf Bagi Masyarakat Modern

A. Pengertian Tasawuf

     Dari segi bahasa atau etimologi, para ahli memberikan berbagai pengertian tentang tasawuf, namun dari beberapa pengertian itu dapat disimpulkan bahwa tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Sikap jiwa yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak yang mulia. Sedangkan pengertian tasawuf dari segi istilah atau menurut pendapat para ahli tasawuf sangat tergantung kepada sudut pandang yang digunakan oleh masing-masing pakar. Jika memandang mausia sebagai makhluk yang harus berjuang, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai "upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt."

B. Pengertian dan Ciri Masyarakat Modern

     Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia "masyarakat" diartikan " himpunan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan yang tertentu, sementara kata "modern" diartikan "terbaru, secara baru, mutakhir".

     Dengan demikian secara harfiah kata "masyarakat modern" dapat dimaknai dengan "suatu himpunan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu yang bersifat mutakhir".
Deliar Noer memberikan ciri-ciri modern sebagai berikut :
1. Bersifat rasional, yaitu lebih mengutamakan pendapat akal fikiran dari pada pendapat emosi sebelum melakukan.
  1. Berfikir untuk masa depan yang lebih jauh, tidak hanya memikirkan masalah yang bersifat sesaat, tetapi juga selalu melihat dampak sosialnya secara lebih jauh.
  2. Menghargai waktu, yaitu selalu melihat waktu adalah sesuatu yang sangat berharga dan perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
  3. Bersikap terbuka, yaitu mau menerima saran, masukan, baik berupa kritik, gagasan dan perbaikan dari manapun.
  4. Berfikir objektif, yaitu melihat segala sesuatu dari sudut fungsi dan kegunaannya bagi masyarakat.
Ciri-ciri  masyarakat modern yaitu:
1.      materialistik (mengutamakan materi)
2.      hedonistik (memperturutkan kesenangan dan kelezatan syahwat)
3.      totaliteristik (ingin menguasai semua aspek kehidupan)
4.      percaya kepada rumus-rumus pengetahuan empiris saja
5.      positivistis yang berdasarkan kemampuan akal pikiran manusia

Tampak jelas pada diri orang-orang yang berjiwa dan bermental seperti ini, ilmu pengetahuan dan teknologi modern memang sangat mengkhawatirkan, karena merekalah yang menyebabkan kerusakan di atas permukaan bumi, sebagaimana Firman Allah Swt. dalam surat ar-Rum ayat 41 :

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Artinya : Telah tampak kerusakan di darat dan dilaut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah Menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

C. PROBLEMATIKA MASYARAKAT MODERN

Dari sikap mental seperti di atas, kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan sejumlah problematika masyarakat modern. Promblematika yang muncul antara lain :
  1. Penyalahgunaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
  2. Pendangkalan Iman. Lebih mengutamakan keyakinan kepada akal pikiran dari pada keyakinan religius.
  3. Desintegrasi Ilmu Pengetahuan.
  4. Pola Hubungan Materialistik.
  5. Kepribadian yang terpecah (split personality).
  6. Stress dan Frustasi.
  7. Kehilangan Harga Diri dan Masa Depan.
Eric Fromm mengatakan bahwa, karakter masyarakat modern diwarnai oleh orientasi pasar, di mana keberhasilan seseorang tergantung kepada sejauh mana nilai jualnya di pasar. Masyarakat modern bagaikan penjual dirinya sekaligus sebagai komunitas yang siap dijual di pasar. Jika nilai jualnya di pasar tinggi maka meraka menjadi masyarakat sukses dan kaya, sementara kemiskinan dimaknai sebaliknya. Kebaikan, kejujuran, kesetiaan pada kebenaran dan keadilan sudah tidak bernilai jika tidak memberikan manfaat untuk kesuksesan dan kemakmuran. Jika kondisi ekonomi seseorang tidak makmur, maka dinilai sebagai orang yang belum sukses, bahkan gagal dalam kehidupan. Maka mereka tidak lagi berpijak kepada kualitas kemanusiaan, melainkan berpatokan kepada keberhasilan dalam mencapai kekayaan materi. Kondisi ini memalingkan kesadaran manusia sebagai makhluk termulia. Keutamaan dan kemuliaan menyatu dengan kekuatan kepribadian. Oleh karena itu masyarakat modern mengalami depersonilisasi kehampaan dan ketidakbermaknaan hidup. Keberadaannya tergantung kepada pemilikan dan pengasaan symbol kekayaan, Karena didorong oleh pandangan bahwa orang yang banyak harta merupakan manusia unggul.

D. Relevansi Tasawuf dalam kehidupan modern

     Modernisme bisa saja menjadi symbol kemajuan, pula bisa jadi merupakan tanda kemunduran umat manusia. Pada kenyataannya, modernisme makin hari membawa diri kta terselubungi hal-hal baru yang semakin kontras dengan nilai-nilai luhur yang diwariskan para pendahulu kita. Efeknya, penghayatan terhadap Islam mulai digantikan dengan penghayatan duniawi yang serba ingin modern. Prinsip materiaistik memenuhi otak pikiran, yang melepaskan kontrol agama dan kebebasan bertindak demi memenuhi modernisme telah berkuasa untuk mengalahkan terapi sufisme atau tasawuf. Masyarakat modern semakin mendewakan keberadaan ilmu pengetahuan, maka seakan-akan kita berada pada wilayah pinggiran yang bermadzab ke-barat-an dan bahkan kita hampir-hampir kehilangan visi keilahian. Hal inilah yang membuat kita makin stress dan gersang hati kita dengan dunia, akibat tidak mempunyai pegangan hidup. Wujud dari kemampuan manusia, umumnya berupa kekuatan ekonomi, teknologi, dan kekuatan ibadiyah. Wajar sekali, kekuatan ekonomi dan teknologi saat ini sangat diperlukan bagi penunjang keberhasilan umat Islam demi menjaga dan mengangkat harkat dan martabat umat itu sendiri. Hal ini disebabkan maraknya perkembangan dan kebutuhan duniawi yang marak juga. Maka dari itu, keselamatan seseorang ditentukan oleh pribadi masing-masing, di mana ia semakin menjaga martabat Islam, semakin pula dirinya terjaga dari arus besarnya kemodernismean.

     Keseimbangan memang dibutuhkan, tapi realita yang terjadi ketika insan bertaqorub ilahirobbi yang mana mereka menjalani hidup penuh dengan nuasa tasawuf tidak disertai yang namanya EQ. Sehinga yang terjadi, mereka hanya bisa dekat dengan Tuhannya tapi tidak dekat dengan lingkungannya yakni masyarakat sekitarnya. Sebagai muslim yang beritikad shaleh untuk agama, berkeyakinan baik dengan adanya perkembangan zaman, hendaknya menyeimbangi pekembangan tersebut bukan mengikuti bahkan terpengaruh perkembangan zaman. Untuk itu, pertebal kekuatan keilmuan untuk menyeimbangi perkembangan zaman. Sejauh ini, kita memahami bahwa tasawuf hanya sebagai sarana pendekatan diri manusia kepada Allah SWT melalui segala jenis ritme ibadah seperti taubat, zikir, iklhas, zuhud, dll. Tasawuf dicari orang lebih untuk sekedar mencari ketenangan, ketentraman dan kebahagian sejati manusia, ditengah orkestrasi kehidupan duniawi yang tak memiliki arah dan tujuan pasti. Tasawuf menjadi sangat penting, karena menjadi fundasi dasar dalam upaya untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.

     Tasawuf sebagai salah satu pilar utama dalam Islam harus dapat menyesuaikan diri di dunia modern ini, karena kebanyakan manusia didominasi oleh hegemoni paradigma ilmu pengetahuan dan budaya Barat yang materialistik-sekularistik. Dominasi ilmu pengetahuan dan budaya Barat materialisme-sekularisme ini terbukti lebih bersifat destruktif ke timbang konstruktif bagi kemanusiaan. Jika kemudian hal tersebut dibenturkan pada ranah agama, maka akan didapati masalah yang bersifat akut. Sebab “filsafat” pengetahuan Barat hanya menganggap valid ilmu pengetahuan yang semata bersifat induktif-empiris, rational-deduktif dan pragmatis, serta menafikan atau menolak ilmu pengetahuan non-empiris dan non-positivisme, yaitu ilmu pengetahuan yang bersumber dari wahyu ketuhanan (kitab suci dan bibbel)
Paradigma materialistic-mekanistik yang berkiblat pada metodologi Cartesian dan Newtonian (hipotesis deduktif dan eksperimental nduktif) ini telah menyebar dan mempengaruhi berbagai cabang disiplin ilmu-ilmu lainnya, sehingga kehidupan, bahkan kesadaran manusia, direduksi hanya menjadi segi materialistis belaka. Misalnya, Adam Smith dalam bidang ekonomi berbicara tentang prinsip “mekanisme pasar” dan Charles Darwin dalam Biologi berbicara tentang “teori evolusi”’. Paradigma mekanistik-materialistik semacam ini terbukti telah berani seedikit demi sedikit menafikan “Tuhan” dari wacana keilmuan dan mempromosikan sekularisme. Di sinilah pentingnya tasawuf modern, di mana konsep kebenaran ilmu pengetahuan tidak hanya berdasarkan korespondensi, koherensi dan pragmatisme saja, tapi juga yang bersifat spiritual-ilahiyah. Artinya sumber ilmu pengetahuan, selain mungkin didapat melalui akal rasional, dan empiris inderawi (observasi) juga niscaya didapatkan dan diperkuat melalui petunjuk wahyu (kitab suci), pelajaran sejarah, latihan-latihan ruhani, penyaksian dan penyingkapan ruhaniyah. Seperti kata Jalaludin Rumi, seorang sufi agung, kaki rasionalisme semata adalah kaki kayu yang rapuh untuk meraih ilmu pengetahuan dan kebenaran. Sufisme atau tasawwuf mengajarkan kita untuk melihat di balik selubung kegelapan yang telah menutupi sistem-sistem kepercayaan kita.
“Solidaritas dan toleransi dapat di tumbuhkan denganpengembangan dimensi esoteris agama yang dalam islam di sebut Tasawuf. Dalam tasawuf terdapat ajaran tentang zuhud, sabar dan itsar”

     Relevansi Tasawuf dengan problem manusia modern adalah karena Tasawuf secara seimbang memberikan kesejukan batin dan disiplin syari’ah sekaligus. Ttasawuf juga menghendaki pelaksanaan syari’at, sebab tasawuf dan syariat tidak bisa di pisahkan satu sama lain, apalagi di pertentangkan. Tasawuf merupakan aspek esoteris (batiniyah) sedangkan syariat adalah aspek eksoteris (lahiriyah) Islam. Kedua aspek itu saling terintregasi. Tasawuf bisa difahami sebagai pembentuk tingkah laku melalui pendekatan Tasawuf suluky, dan bisa memuaskan dahaga intelektuil melalui pendekatan Tasawuf falsafy. Ia bisa diamalkan oleh setiap muslim, dari lapisan sosial manapun dan di tempat manapun. Secara fisik mereka menghadap satu arah, yatiu Ka’bah, dan secara rohaniah mereka berlomba lomba menempuh jalan (tarekat) melewati ahwal dan maqam menuju kepada Tuhan yang Satu, Allah SWT.

E. Peranan Tasawuf dalam Kehidupan Modern

     Hakikat tasawuf adalah mendekatkan diri kepada Allah melalui penyucian diri dan amaliyah-amaliyah Islam. Dan memang ada beberapa ayat yang memerintahkan untuk menyucikan diri (tazkiyyah al-nafs) di antaranya: “Sungguh, bahagialah orang yang menyucikan jiwanya” (Q.S. Asy-syam [91]:9); “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku” (QS. Al Fajr: 28-30). Atau ayat yang memerintahkan untuk berserah diri kepada Allah, “Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tema menyerahkan diri (kepada) Allah” (QS. Al An’am: 162).


     Jadi, fungsi tasawuf dalam hidup adalah menjadikan manusia berkeperibadian yang shalih dan berperilaku baik dan mulia serta ibadahnya berkualitas. Mereka yang masuk dalam sebuah tharekat atau aliran tasawuf dalam mengisi kesehariannya diharuskan untuk hidup sederhana, jujur, istiqamah dan tawadhu. Semua itu bila dilihat pada diri Rasulullah SAW, yang pada dasarnya sudah menjelma dalam kehidupan sehari-harinya. Apalagi di masa remaja Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai manusia yang digelari al-Amin, Shiddiq, Fathanah, Tabligh, Sabar, Tawakal, Zuhud, dan termasuk berbuat baik terhadap musuh dan lawan yang tak berbahaya atau yang bisa diajak kembali pada jalan yang benar. Perilaklu hidup Rasulullah SAW yang ada dalam sejarah kehidupannya merupakan bentuk praktis dari cara hidup seorang sufi.  Jadi, tujuan terpenting dari tasawuf adalah lahirnya akhlak yang baik dan menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain.


     Dalam kehidupan modern, tasawuf menjadi obat yang mengatasi krisis kerohanian manusia modern yang telah lepas dari pusat dirinya, sehingga ia tidak mengenal lagi siapa dirinya, arti dan tujuan dari hidupnya. Ketidakjelasan atas makna dan tujuan hidup ini membuat penderitaan batin. Maka lewat spiritualitas Islam ladang kering jadi tersirami air sejuk dan memberikan penyegaran serta mengarahkan hidup lebih baik dan jelas arah tujuannya.



Penerapan Tasawuf dalam Kehidupan Modern

Manfaat tasawuf bukannya untuk mengembalikan nilai kerohanian atau lebih dekat pada Allah, tapi juga bermanfaat dalam berbagai bidang kehidupan manusia modern. Apalagi dewasa ini tampak perkembangan yang menyeluruh dalam ilmu tasawuf dalam hubungan inter-disipliner.



Menempuh Jalan Tasawuf

Untuk menjadikan hidup lebih baik dan ada nuansa sufistiknya, tentu saja harus melakukan latihan spiritual secara baik, benar, dan berkesinambungan. Karena itu, bagi seorang penempuh tasawuf awal, langkah pertama yang harus dilakukan adalah :
  1. Taubat. Ia harus menyesal atas dosa-dosanya yang lalu dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi.  
  2. Untuk memantapkan taubatnya itu ia harus zuhud. Ia mulai menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil untuk beribadat, puasa, shalat, membaca al-Qur’an dan dzikir, sedikit tidur dan banyak beribadat serta yang dicari hanya kebahagiaan rohani dan kedekatan dengan Allah. 
  3. Wara’. Ia menjauhkan dari perbuatan-perbuatan syubhat. Juga tidak memakan makanan atau minuman yang tidak jelas kedudukan halal-haramnya. 
  4. Faqr. Ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. 
  5. Sabar. Bukan hanya dalam menjalankan perintah-perintah Allah yang berat dan menjauhi larangan-larangan-Nya, tapi juga sabar dalam menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan Allah kepadanya. Ia juga sabar dalam menderita. 
  6. Tawakal. Ia menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada kehendak Allah. Ia tidak memikirkan hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari ini. 
  7. Ridha. Ia tidak menentang cobaan dari Allah, bahkan ia menerima dengan senang hati. Di dalam hatinya tidak ada perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta kepada Allah.
Itu semua  hanya latihan untuk memasuki dunia sufistik. Sedangkan untuk memasuki pintu tasawuf, atau sufi, ada beberapa tahapan yang lebih tinggi dari sekedar membersihkan atau mengosongkan diri (takhali), mengisinya kembali dengan nilai-nilai ilahiyah (tahalli) dan kemudian tajalli, atau merasakan manifestasi Ilahi dalam kehidupan dunia ini. Selanjutnya, bila ia memang berada dalam perjalanan “menjadi” sufi, ia akan mengalami mukasyafah atau penyingkapan sesuatu yang tidak diketahuinya, kemudian menjadi tahu. Dari tahap ini ia akan berlanjut pada musyahadah, menyadari sekaligus bersaksi bahwa diri ini tiada apa-apanya. Yang ada dan berada hanya Allah Yang Mahaesa. Tidak ada yang Ada selain Ia. Seseorang yang berada dalam posisi ini pantas disebut muwahid (orang yang bertauhid). Posisi ini akan terus berlanjut pada penyatuan dengan Tuhan. Namun dalam tahap ini kadang tidak setiap orang mampu menerima pengalaman seorang sufi yang mengalami ektase (fana). Sebab kalimat yang terlontar ketika dalam keadaan fana adalah kata-kata “janggal” seperti yang dilontarkan Abu Mansur Al-Hallaj, Abu Yazid Al-Busthomi, Syeikh Siti Jenar, dan lainnya. 


KESIMPULAN


Di sinilah pentingnya tasawuf modern, di mana konsep kebenaran ilmu pengetahuan tidak hanya berdasarkan korespondensi, koherensi dan pragmatisme saja, tapi juga yang bersifat spiritual-ilahiyah. Artinya sumber ilmu pengetahuan, selain mungkin didapat melalui akal rasional, dan empiris inderawi (observasi) juga niscaya didapatkan dan diperkuat melalui petunjuk wahyu (kitab suci), pelajaran sejarah, latihan-latihan ruhani, penyaksian dan penyingkapan ruhaniyah. Seperti kata Jalaludin Rumi, seorang sufi agung, kaki rasionalisme semata adalah kaki kayu yang rapuh untuk meraih ilmu pengetahuan dan kebenaran. Sufisme atau tasawwuf mengajarkan kita untuk melihat di balik selubung kegelapan yang telah menutupi sistem-sistem kepercayaan kita.

Moral merupakan pengetahuan yang menyangkut budi pekerti manusia yang beradab. Moral juga berarti ajaran yang baik dan buruk perbuatan dan kelakuan (akhlak). Moralisasi, berarti uraian (pandangan, ajaran) tentang perbuatan dan kelakuan yang baik. Demoralisasi, berarti kerusakan moral.


Oleh :
Tekka Bancin
Mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar