CINCIN TITIPAN
Matahari
senja memancarkan sinarnya, menenangkan hati siapa saja yang melihatnya, menyinari
sekeliling taman, menemani dua sahabat
yang sedang bercanda gurau. Yah, aku dan Indah telah bersahabat sejak lama.
Waktu itu, aku duduk berdua dengannya di taman. Indah senang sekali mengajakku
ngobrol di taman. Kadang dia curhat masalah pribadinya. Hingga tanpa dia sadari
air matanya menetes di pipinya. Aku berusaha menenangkannya.
Aku
mengenal Indah sewaktu duduk di bangku SMA. Sejak saat itu, aku menjalin
hubungan persahabatan dengannya. Aku mengenalnya sebagai orang yang pendiam dan
cerdas. Aku sering berkonsultasi dengannya ketika mempunyai pekerjaan rumah
yang tidak bisa kuselesaikan. Apalagi jika itu sudah menyangkut mata pelajaran
Matematika. Yah, mata pelajaran yang paling mengganggu, menyusahkan sekaligus
membosankan.
Waktu
itu aku tidak masuk sekolah karena sedang mencari hippo time. Maklum saja, aku hanya mendapatkan jata libur sekali
dalam seminggu. Lagi pula aku belum pernah alfa pada pertemuan sebelumnya. Yah,
sekali-kali kita harus memanfaatkan jata ketidakhadiran yang disediakan oleh
guru. Ketika sedang asyik-asyiknya menikmati secangkir kopi dan rokok di dalam
kamar, tiba-tiba handphoneku berdering. Ternyata itu telepon dari Indah.
“Halo,
lagi ngapain nih Angga?”
“Lagi
istirahat di rumah.”
“Mengapa
tidak pergi ke sekolah tadi?”
“Yah,
bisa dibilang lagi malas saja.”
“Ke
taman yuk, sebentar sore!”
“Oke.
seperti biasa jam 4 yah!”
“Terserahlah.
Kalau begitu sampai ketemu sebentar sore yah!” ucapnya sembari menutup
pembicaraan.
Sore
harinya aku datang ke taman itu. Rupa-rupanya Indah datang lebih awal. Raut
wajahnya terlihat sedikit berbeda dari pertemuanku sebelumnya.
“Maaf
yah aku terlambat! Sudah lama menunggu?” tanyaku.
“Yah,
lumayan. Ngomong-ngomong, boleh bertanya satu hal?” tanya Indah kepadaku yang
tampaknya sangat serius.
“Mengapa
tidak? Apa sih yang tidak bisa buat kita?” jawabku dengan sedikit bercanda.
“Selama
3 tahun kita bersahabat, apa kamu tidak punya sedikitpun perasaan kepadaku?
Selama ini, sebenarnya aku …” ucapnya dengan sedikit ragu dan malu kepadaku.
“Aku
tidak mengerti sama sekali. Ayolah, berhenti bercanda seperti itu! Bagaimana
kalau kita membicarakan hal lain?” tanyaku sambil mengalihkan pembicaraan.
“Aku
tidak bercanda, Angga. Sebenarnya aku suka sama kamu. Aku tidak kuasa menahan
perasaanku padamu.”
Perlahan
aku menoleh ke wajahnya. Kulihat wajahnya sedikit tegang. Apakah dari awal dia
mengajakku ke sini hanya untuk menyatakan perasaannya padaku? Aku semakin
bingung mendengar apa yang dia ucapkan tadi. Perlahan kurangkul tangannya dan
kutatap wajah yang penuh rasa malu.
“Jadi,
itu tujuanmu mengajakku ke tempat ini?”
“Ya,
aku minta maaf!”
“Tidak
perlu meminta maaf padaku. Aku mengerti perasaanmu. Tapi, aku ragu menjawabnya
sekarang. Ada banyak hal yang harus aku pertimbangkan. Tolong berikan sedikit
waktu untuk berpikir” ucapku sambil menenangkan pikirannya.
Sepulang
dari tempat itu, aku tidak berhenti memikirkan ucapannya tadi. Bagaimana tidak,
orang yang selama ini aku anggap sahabat tiba-tiba mengutarakan perasaannya
padaku. Jika aku menolaknya, pasti perasaannya semakin sedih. Tetapi, di sisi
lain aku tidak mencintainya.
Keesokan
harinya, aku memberanikan diri datang ke rumahnya. Kuajaknya ke taman yang kami
datangi kemarin. Kali ini aku sedikit gugup jalan berdua dengannya.
Kelihatannya dia lebih ceria dibandingkan kemarin. sesekali dia tersenyum
kepadaku.
“Jadi,
bagaimana dengan janjinya, Angga?”
“Memangnya
aku pernah berjanji yah? Wah, aku lagi tidak punya uang nih. Bayarnya nanti
saja.”
“Lalu,
tujuanmu mengajakku ke sini bukan untuk itu? Jadi, maksud kamu apa?”
Raut
wajahnya tiba-tiba berubah. Sepertinya dia tersinggung dengan ucapanku tadi.
Aku bisa melihat kalau wanita ini benar-benar sangat mencintaiku. Matanya
seolah-olah meminta agar aku menerima cintanya.
“Seharusnya
kamu tidak perlu berteriak seperti itu. Aku senang melihatmu sebagai wanita
yang pendiam.”
“Iya,
aku minta maaf, Angga!”
“Indah
sebenarnya saya senang bisa menjadi sahabatmu, tetapi … aku lebih senang jika
kamu mengizinkanku menjadi pacarmu” ucapku sambil memegang tangannya.
Kelihatannya
dia sangat gembira mendengar ucapanku. Spontan saja dia memelukku tanpa
melontarkan sepatah kata pun. Ternyata benar apa yang dikatakan orang selama
ini. Hal yang paling menyenangkan dalam hidup adalah ketika berada dipelukan
wanita yang kita cintai. Aku benar-benar merasa nyaman di dekatnya.
Sejak
saat itu, aku semakin sering mengajaknya jalan. Kadang aku mengajaknya nonton
atau sekadar jalan-jalan berdua. Aku terlihat sangat mesra dengannya layaknya
suami-istri. Kini aku benar-benar telah jatuh cinta padanya. Hari-hari kulalui
dengan canda dan tawa.
Hingga
pada suatu hari, ayahnya meninggal. Bukan hanya dia, akupun sangat kaget
setelah dia meneleponku. Kudatangi rumahnya dan kulihat raut kesedihan yang
sangat mendalam di wajah pacarku itu. Beliau adalah tulang punggung keluarga
satu-satunya. Dan kini dia telah tiada meninggalkan istri dan tiga orang
anaknya. Lantas siapa yang akan menjadi tulang punggung keluarga selanjutnya?
Aku sangat cemas memikirkan musibah yang menimpa kekasihku ini.
Kecemasanku
memuncak ketika Indah menyuruhku datang ke rumahnya. Ibunya ingin berbicara denganku.
Aku sudah menduga kalau mereka pasti memikirkan hal yang sama denganku.
“Nak,
kamu pasti mengerti dengan keadaan kami. Sekarang ayahnya telah tiada, dia
masih punya dua orang adik. Kami butuh tulang punggung keluarga sekarang. Pagi
tadi sepupunya yang bernama Adit berkunjung kemari. Dia ingin melamar Indah
karena kwatir dengan keadaan keluarga kami. Kami belum memberinya jawaban
karena ingin membicarakannya dahulu denganmu. Bagaimana menurutmu, Nak?”
“Aku
tidak tahu harus menjawab apa. Aku sangat mencintai Indah, tapi aku tidak punya
biaya untuk menikahinya. Aku bisa mengerti apa yang dia rasakan.”
“Apa
itu artinya kamu tidak mau menikah denganku?” tanya Indah dengan raut wajah
sedih.
“Seharusnya
kamu mengerti perasaanku. Aku juga mempunyai dua orang adik sementara orang
tuaku hanya seorang petani. Di mana aku bisa mendapatkan uang untuk menikahimu?
Aku sadar pilihanku ini membuatmu kecewa, tetapi aku tidak punya pilihan lain.”
Terlihat
raut wajah Indah amat sedih mendengar pengakuanku tadi. Air matanya menetes
perlahan membasahi wajah kekasihku. Aku sadar telah menyakiti perasaannya.
Sesuatu yang selama ini tidak pernah aku lakukan sebelumnya. Jadi, inikah
takdir yang harus memisahkan kami? Perlahan aku menyadari bahwa cinta tak
selamanya harus memiliki. Aku harus menghadapi kenyataan untuk melepaskan orang
yang selama ini aku cintai. Terkadang hidup ini tidak adil bagi orang miskin
yang terus merasakan penderitaan yang tiada berujung. Seandainya aku dilahirkan
sebagai orang kaya, pasti aku akan menikahi pacarku itu dan hidup bersama
dengannya.
“Aku
tidak bisa menerima semua ini. Persahabatan hingga kasih sayang kita dikalahkan
oleh takdir yang menimpa hubungan kita.”
“Apa
kamu kira aku bisa menerima keadaan ini? Aku juga sama sepertimu. Akan tetapi,
yang paling penting bagiku adalah bisa melihatmu bahagia, bahkan jika itu
dengan orang lain. Begitulah caraku mencintaimu. Kalau kamu benar-benar
mencintaikku, kumohon menikahlah dengannya demi aku!”
“Baiklah.
Aku akan menerimanya, tetapi berjanjilah untuk tetap mencintaiku!” ucapnya
sambil memelukku.
“Aku
berjanji padamu.”
Mungkin
ini pelukan terakhir yang aku rasakan darinya. Sebelum aku meninggalkannya,
Indah memberiku sebuah cincin.
“Tolong
ambil cincin ini! Kalau kamu telah menemukan penggantiku di hatimu, berikan
cincin ini padanya. Tetapi, kalau kamu tak kunjung menemukannya, kumohon simpan
cincin ini baik-baik. Siapa tahu takdir akan menyatukan kita kembali dan aku
akan kembali padamu untuk mengambil cincin ini.”
Waktu
pun terus berlalu. Tak terasa malam pernikahannya telah tiba. Aku sengaja tidak
datang ke pesta perkawinannya. Aku lebih memilih untuk pergi ke taman yang
sering kami datangi. Tempatnya sangat sunyi. Suara jengkrik bercampur dengan
dinginnya malam di bawah naungan sinar bulan purnama. Air mataku menetes jika
mengingat kisah yang pernah kujalani dengannya. Tempat ini menjadi saksi bisu
hubunganku dengannya. Yang tersisa hanyalah sebuah cincin titipan darinya. Apakah
cincin ini akan menjadi awal dari takdirku selanjutnya atau justru menjadi
akhir dari kisah cintaku? Aku tidak tahu harus memulainya dari mana. Aku tidak
tahu bagaimana mengakhiri kesedihanku ini. Apa aku hanya akan menunggu orang
yang telah menjadi milik orang lain? Mungkin lebih baik kalau aku membiarkan
takdirku menjawab semua ini.
Oleh :
Tekka Bancin
Mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan
UIN Alauddin Makassar
Oleh :
Tekka Bancin
Mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan
UIN Alauddin Makassar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar