Jumat, 10 Mei 2013

FILSAFAT IBNU SINA

Pemikiran filsafat Ibnu Sina

BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam banyak hal unik, sedang diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu-satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad 1[1].
Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam menemukan metode metode dan alasan-alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam2[2].

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Mengetahui Tentang biografi Ibnu Sina
2.      Bagaimana Pemikiran pemikiran Filsafat Ibnu Sina


BAB II
PEMBAHASAN

Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibn Sina. Ia lahir pada tahun 980 M di Asfshana, suatu tempat dekat Bukhara. Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman3[3]. Di Bukhara ia dibesarkan serta belajar falsafah kedokteran dan ilmu-ilmu agama Islam. Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal Al-Qur'an seluruhnya4[4]. Dari mutafalsir Abu Abdullah Natili, Ibnu Sina mendapat bimbingan mengenai ilmu logika yang elementer untuk mempelajari buku Isagoge dan Porphyry, Euclid dan Al-Magest-Ptolemus. Dan sesudah gurunya pindah ia mendalami ilmu agama dan metafisika, terutama dari ajaran Plato dan Arsitoteles yang murni dengan bantuan komentator-komentator dari   pengarang   yang   otoriter   dari   Yunani   yang   sudah   diterjemahkan kedalam bahasa Arab.

Dengan ketajaman otaknya ia banyak mempelajari filsafat dan cabang-cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan ini menunjukkan bahwa ketinggian  otodidaknya, namun disuatu kali dia harus   terpaku   menunggu saat ia menyelami ilmu metafisika-nya Arisstoteles, kendati sudah 40 an kali membacanya. Baru setelah ia membaca Agradhu kitab ma waraet thabie’ah li li Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua persoalan mendapat jawaban dan penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia mendapat kunci bagi segala simpanan ilmu metafisika. Maka dengan tulus ikhlas dia mengakui bahwa dia menjadi murid yang setia dari Al- Farabi 5[5]


End Notes:
1[1] M.M. Syarif, MA, Para Filosof Muslim, (Bandung, Mizan) 1994, hal. 101, Ahmad Fuad Al-
         Ahwani, Filsafat Islam, Pustaka Firdaus, 1984, hal. 63
2[2] Ibid
3[3] Prof. Dr. Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta : Penerbit
         Universitas Indonesia), 1996, hal. 50
4[4] Dr. Ahmad Daudy, MA, Kuliah Filsafat Islam , (Jakarta : Bulan Bintang), 1986, hal. 60
5[5] H. Zaenal Abidin Ahmad, Ibnu Siena (Avecenna) Sarjana dan Filosuf Dunia, (Bulan  Bintang), 1949, hal. 49

Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Belum lagi usianya   melebihi enam belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori - teori kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati orang-orang sakit6[6]. Ia tidak pernah bosan atau gelisah dalam membaca buku - buku filsafat dan setiap kali menghadapi kesulitan, maka ia memohon kepada Tuhan untuk  diberinya petunjuk, dan ternyata permohonannya itu tidak pernah dikecewakan. Sering-sering ia tertidur karena kepayahan membaca, maka didalam tidurnya itu dilihatnya pemecahan terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapinya7[7].

Sewaktu berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan baik sekali, dan dapat pula mengunjungi perpustakaan yang penuh dengan buku-buku yang sukar didapat, kemudian dibacanya dengan segala keasyikan. Karena sesuatu hal, perpustakaan tersebut terbakar, maka tuduhan orang ditimpakan kepadanya, bahwa ia sengaja membakarnya, agar orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari perpustakaan itu8[8]. Kemampuan Ibnu Sina dalam bidang filsafat dan kedokteran, kedua duanya sama beratnya. Dalam bidang kedokteran dia mempersembahkan Al-Qanun fit-Thibb-nya,dimana ilmu kedokteran modern mendapat pelajaran, sebab kitab ini selain lengkap, disusunnya secara sistematis.

Dalam bidang material medeical, Ibnu Sina telah banyak menemukan bahan nabati baru Zanthoxyllum budrunga-dimana tumbuh-tumbuhan banayak membantuterhadap  bebebrapa penyakit tertentu seperti radang selaput otak (miningitis). Ibnu Sina pula sebagai orang pertama yang menemukan peredaran darah   manusia, dimana   enam ratus tahun kemudian disempurnakan oleh William Harvey. Dia pulalah yang pertama kali mengatakan bahwa bayi selama masih dalam kandungan mengambil makanannya lewat tali pusarnya. Dia jugalah yang mula-mula mempraktekkan pembedahan penyakit-penyakit bengkak yang ganas, dan menjahitnya. Dan  last but not list dia juga terkenal sebagai dokter ahli jiwa dengan cara-cara modern yang kini disebut psikoterapi .

6[6] Ahmad Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1996, hal. 115,
         Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, Pustaka Firdaus, hal. 65
7[7] Ibid
8[8] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1992, hal. 34


Dibidang filsafat, Ibnu Sina dianggap sebagai imam para filosof di masanya, bahkan sebelum dan sesudahnya. Ibnu Sina otodidak dan genius orisinil yang bukan hanya dunia Islam menyanjungnya ia   memang merupakan satu bintang gemerlapan memancarkan cahaya sendiri, yang bukan pinjaman sehingga Roger Bacon, filosof kenamaan dari Eropa Barat pada Abad Pertengahan menyatakan dalam Regacy of Islam-nya Alfred Gullaume; “Sebagian besar filsafat  Aristoteles sedikitpun tak dapat memberi pengaruh di Barat, karena kitabnya tersembunyi entah dimana, dan sekiranya ada, sangat sukar  sekali  didapatnya dan sangat susah dipahami dan digemari orang karena peperangan-peperangan  yang meraja lela disebelah Timur, sampai saatnya Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dan juga pujangga Timur lain membuktikan kembali falsafah Aristoteles disertai dengan penerangan dan keterangan yang luas.”9[9]

Selain kepandaiannya sebagai flosof dan dokter, iapun penyair. Ilmu-ilmu pengetahuan seperti ilmu jiwa, kedokteran dan kimia ada yang ditulisnya dalam bentuk syair. Begitu pula didapati buku-buku yang dikarangnya untuk ilmu logika dengan syair.

Kebanyakan buku-bukunya telah disalin kedalam bahasa Latin. Ketika orang-orang Eropa diabad tengah, mulai mempergunakan buku-buku  itu  sebagai textbook, diberlbagai universitas. Oleh karena itu nama Ibnu  Sina  dalam abad pertengahan  di Eropa sangat berpengaruh 10[10].
          
Dalam dunia Islam kitab-kitab Ibnu Sina terkenal, bukan saja karena kepadatan ilmunya, akan tetapi karena bahasanya yang baik dan caranya menulis sangat terang. Selain menulis dalam bahasa Arab, Ibnu Sina juga menulis dalam bahasa Persia. Buku-bukunya dalam bahasa Persia, telah diterbitkan di Teheran dalam tahun 1954.
        
Karya-karya Ibnu Sina yang ternama dalam lapangan Filsafat adalah As-Shifa, An-Najat dan Al Isyarat. An-Najat adalah resum dari  kitab  As-Shifa. Al-Isyarat, dikarangkannya kemudian, untuk ilmu tasawuf. Selain dari pada itu, ia banyak menulis karangan-karangan pendek yang dinamakan Maqallah. Kebanyakan maqallah ini ditulis ketika ia  memperoleh inspirasi dalam sesuatu bentuk baru dan segera dikarangnya 11[11].

9[9] Imam Munawir, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam dari masa ke masa ,
         (Surabaya : PT. Bina Ilmu), 1985, hal. 332 - 333
10[10] Oemar Amin Hoesin, Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1975, hal. 112 - 113
11[11] Ibid

Sekalipun ia  hidup dalam waktu penuh kegoncangan dan sering sibuk dengan soal negara, ia menulis sekitar dua ratus lima puluh karya. Diantaranya karya yang paling masyhur adalah “Qanun” yang merupakan ikhtisar pengobatan Islam dan diajarkan hingga kini di Timur.  Buku ini dterjemahkan ke baasa Latin dan diajarkan berabad lamanya di Universita Barat. Karya keduanya adalah ensiklopedinya yang monumental “Kitab As-Syifa”. Karya ini merupakan titik  puncak filsafat paripatetik dalam Islam.  12[12]
         Diantara karangan - karangan Ibnu Sina adalah :
1. As- Syifa (The Book of Recovery or The Book of Remedy = Buku tentang Penemuan, atau Buku tentang Penyembuhan). Buku ini dikenal didalam bahasa Latin dengan nama Sanatio, atau Sufficienta. Seluruh buku ini terdiri atas 18 jilid, naskah selengkapnya sekarang ini tersimpan di Oxford University London. Mulai ditulis pada usia 22 tahun (1022 M) dan berakhir pada tahun wafatnya (1037 M). Isinya terbagi atas 4 bagian, yaitu :
  • Logika (termasuk didalamnya terorika dan syair) meliputi dasar karangan Aristoteles tentang logika dengan dimasukkan segala materi dari penulis-penulis Yunani kemudiannya.
  • Fisika (termasuk psichologi, pertanian, dan hewan). Bagian-bagian Fisika meliputi  kosmologi, meteorologi, udara, waktu, kekosongan dan gambaran). 
  • Matematika. Bagian matematika mengandung pandangan yang berpusat dari elemen-elemen Euclid, garis besar dari Almagest-nya Ptolemy, dan ikhtisar-ikhtisar tentang aritmetika dan ilmu musik. 
  • Metafisika. Bagian falsafah, poko pikiran Ibnu sina menggabungkan pendapat Aristoteles dengan elemen-elemennya Neo Platonic dan menyusun dasar percobaan untuk menyesuaikan ide-ide Yunani dengan kepercayaan - kepercayaan. Dalam zaman pertengahan Eropa, buku ini menjadi standar pelajaran filsafat di berbagai sekolah tinggi.
 2.  Nafat, buku ini adalah ringkasan dari buku As-Syifa.
 3. Qanun, buku ini    adalah   buku   lmu   kedokteran, dijadikan buku   pokok   pada  Universitas Montpellier (Perancis) dan Universitas Lourain (Belgia).
 4.  Sadidiyya. Buku ilmu kedokteran.
 5.  Al-Musiqa. Buku tentang musik.
 6.  Al-Mantiq, diuntukkan buat Abul Hasan Sahli.
 7.  Qamus el Arabi, terdiri atas lima jilid.Danesh Namesh. Buku filsafat.
 8.  Danesh Nameh. Buku filsafat.
 9.  Uyun-ul Hikmah. Buku filsafat terdiri atas 10 jilid.

12[12] Nasir Masruwah, taufik Falsafah Al-Islamiyah, hal. 11
  
10. Mujiz, kabir wa Shaghir. Sebuah buku yang menerangkan tentang dasar-dasar ilmu logika secara lengkap.
11. Hikmah el-Masyriqiyyin. Falsafah Timur (Britanica Encyclopedia vol II,  hal. 915 menyebutkan kemungkinan besar buku ini telah hilang).
12. Al-Inshaf. Buku tentang Keadilan Sejati.
13. Al-Hudud Berisikan istilah-istilah dan pengertian-pengertian yang dipakai didalam ilmu filsafat.
14. Al-Isyarat wat Tanbiehat. Buku ini lebih banyak membicarakan dalil-dalil dan peringatan-peringatan yang mengenai prinsip Ketuhanan dan Keagamaan.
15. An-Najah, (buku tentang kebahagiaan Jiwa)
16. dan sebagainya 13[13]
         Dari   autobiografi   dan   karangan  - karangannya   dapat   diketahui   data   tentang   sifat - sifat kepribadianhya, misalnya :
1. Mengagumi dirinya sendiri. 
Kekagumannya   akan   dirinya   ini   diceritakan   oleh   temannya   sendiri   yakni   Abu   Ubaid   al- Jurjani.   Antara   lain   dari   ucapan   Ibnu   Sina   sendiri,   ketika   aku   berumur   10   tahun   aku   telah hafal Al-Quran dan sebagian besar kesusateraan hinga aku dikagumi. 

2. Mandiri dalam pemikiran. 
Sifat   ini   punya   hubungan   erat   sudah   nampak   pada   Ibnu Sina sejak  masa   kecil. Terbukti dengan ucapannya “Bapakku dipandang penganut madzhab Syiah Ismailiah. Demikian juga  saudaraku.  Aku dengar   mereka   menyebtnya   tentang   jiwa dan   akal, mereka   mendiskusikan tentang jiwa dan akal menurut pandangan mereka. Aku mendengarkan, memahami diskusi ini, tetapi jiwaku tak dapat menerima pandangan mereka”.


13[13] Thawil akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Semarang : Dina Utama Semarang), 1993, hal. 37 – 39

3.  Menghayati agama, tetapi belum ke tingkat zuhud dan wara.
Kata Ibnu Sina, setiap argumentasi kuperhatikan muqaddimah qiyasiyahnya setepat-tepatnya,  juga   kuperhatikan  kemungkinan kesimpulannya. Kupelihara    syarat - syarat muqaddimahnya,   sampai   aku  yakin  kebenaran   masalah   itu.   Bilamana   aku   bingung   tidak berhasil   kepada   kesimpulan   pada  analogi  itu,   akupun   pergi   sembahyang   menghadap   maha Pencipta, sampai dibukakan-Nya kesulitan dan dimudahkan-Nya kesukaran. 
4.   Rajin  mencari  ilmu,  keterangan  beliau  “saya  tenggelam  dalam  studi  ilmu  dan  membaca  selama satu setengah tahun. Aku tekun studi bidang logika dan filsafat, saya tidak tidur satu malam suntuk selama itu. Sedang siang hari saya tidak sibuk dengan hal - hal lainnya” 
5.   Pendendam. Dia meredam  dendam   itu   dalam   dirinya   terhadap   orang   yang menyinggung  perasaannya. Dia hormat bila dihormati.
6.  Cepat melahirkan karangan
    Ibnu Sina dengan cepat memusatkan pikirannya dan mendapatkan garis - garis besar dari isi pikirannya     serta  dia  dengan    mudah     melahirkannya     kepada    orang   lain.  Menuangkan    isi  pikiran   dengan   memilih   kalimat/   kata-kata   yang   tepat,   amat   mudah   bagi   dia.   Semua   itu berkat pembiasaan, kesungguhan dan latihan dan kedisiplinan yang dilakukannya. 14[14]
         Ibnu    Sina    dikenal    di  Barat    dengan    nama     Avicena     (Spanyol     aven    Sina)   dan kemasyhurannya di  dunia    Barat   sebagai   dokter   melampaui      kemasyhuran      sebagai   Filosof, sehingga ia mereka beri gelar “the Prince of the Physicians”. Di dunia Islam ia dikenal dengan  nama Al-Syaikh - al-Rais . Pemimpin utama (dari filosof - filosof) 15[15].
         Meskipun ia di akui sebagai seorang tokoh dalam keimanan, ibadah dan keilmuan, tetapi baginya minum – minuman keras itu boleh, selama tidak untuk memuaskan hawa nafsu. Minum– minuman   keras   dilarang   karena   bias   menimbulkan   permusuhan   dan   pertikaian,   sedangkan apabila ia minum tidak demikian malah menajamkan pikiran.
         Didalam al-Muniqdz min al-Dhalal, al-Ghazali bahwa Ibnu Sina pernah berjanji kepada Allah    dalam    salah  satu   wasiatnya,    antara  lain  bahwa  ia  akan  menghormati  syariat  tidak  melalaikan     ibadah   ruhani   maupun     jasmani   dan   tidak  akan   minum–minuman kerasuntuk memuaskan nafsu, melainkan demi kesehatan dan obta.
         Kehidupan Ibnu Sina penuh dengan aktifitas -aktifitas kerja keras. Waktunya dihabiskan untuk urusan negara dan menulis, sehingga ia mempunyai sakit maag yang tidak dapat terobati. Di usia 58 tahun (428 H / 1037 M) Ibnu Sina meninggal dan dikuburkan di Hamazan.

14[14] Busyairi Madjidi, Konsep Pendidikan Para Filosof Muslim, (Yogyakarta : Al-Amin  Press). 1997, hal. 47 - 51
15[15] Harun Nasution, Islam di tinjau dari berbagai aspeknya , jilid II, (jakarta : UI), 1986, hal. 51


    1.   Filsafat Jiwa
                  Ibnu Sina memberikan perhatiannya yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan,  sebagaimana       yang   dapat   kita   lihat  dari   buku -  buku   yang   khusus    untuk   soal -  soal  kejiwaan ataupun buku - buku yang berisi campuran berbagai persoalan filsafat.  Memang       tidak  sukar   untuk    mencari    unsur  -  unsur    pikiran   yang   membentuk teorinya    tentang  kejiwaan, seperti   pikiran  -  piiran   Aristoteles,   Galius   atau   Plotinus, terutama pikiran- pikiran Aristoteles   yang banyak dijadikan sumber pikiran-pikirannya. Namun hal ini tidak berarti bahwa Ibnu Sina tidak mempunyai kepribadian sendiri atau pikiran -  pikiran   yang   sebelumnya,   baik   dalam   segi   pembahasan   fisika   maupun   segi pembahasan metafisika.
      Dalam segi fisika,  iabanyak memakai metode eksperimen dan banyak terpengaruh      oleh  pembahasan lapangan    kedokteran. Dalam segi  metafisika terdapat  kedalaman   dan   pembaharuan  yang   menyebabkan   dia   mendekati   pendapat   -  pendapat  filosof modern 16[16]. Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir   Arab   sejak   abad   ke   sepuluh   Masehi   sampai  akhir   abad   ke 19  M,   terutama   pada Gundisallinus, Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon dan Dun Scot 17[17].
       Pemikiran   terpenting   yang   dihasilkan   Ibnu   Sina   ialah   falsafatnya   tentang   jiwa. Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar akal pertama, dan   dari   akal   pertama   memancar   akal      kedua   dan   langit  pertama,   demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala   apa   yang   terdapat   di   bumi   yang   berada   dibawah   bulan.   Akal     pertama   adalah  malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril. Pemikiran  ini  berbeda  dengan  pemikiran  kaum  sufi  dan  kaum  mutazilah.  Bagi kaum   sufi   kemurnian   tauhid   mengandung   arti   bahwa   hanya   Tuhan   yang   mempunyai wujud. Kalau ada yang lain  yang mempunyai wujud hakiki   disamping Tuhan, itu mngandung   arti   bahwa   ada  banyak   wujud, dan dengan   demikian merusak tauhid. Oleh karena itu mereka berpendapat : Tiada yang berwujud selain dari Allah swt. Semua yang lainnya pada hakikatnya tidak ada. Wujud   yang lain itu adalah wujud bayangan. Kalau  dibandingkan dengan    pohon dan bayangannya, yang sebenarnya mempunyai wujud adalah pohonnya, sedang bayangannya hanyalah gambar yang seakan –  akan tidak ada. Pendapat   inilah   kemudian   yang   membawa kepada   paham  wahdat   al-wujud  (kesatuan wujud), dalam arti wujud bayangan bergantung pada   wujud yang punya bayangan. Karena itu ia pada hakekatnya tidak ada; bayangan tidak ada. Wujud bayangan bersatu dengan wujud yang punya bayangan.

16[16] Ahmad Hanafi, Pengantar …, hal. 125 - 126
17[17] Ibid.

         Kalau kaum Mutazilah dalam usaha memurnikan tauhid pergi ke peniadaan sifat – sifat Tuhan dan kaum sufi ke peniadaan wujud selain dari wujud Allah swt, maka kaum  filosof Islam yang dipelopori al-Farabi, pergi ke faham emanasi atau al-faidh . Lebih dari mutazilah dan kaum sufi, al-Farabi berusaha meniadakan adanya arti banyak dalam diri Tuhan.   Kalau   Tuhan   berhubungan   langsung   dengan   alam   yang   tersusun   dari   banyak unsur ini, maka dalam pemikiran Tuhan terdapat pemikiran yang banyak. Pemikiran yang  banyak membuat faham tauhid tidak murni lagi 18[18].
         Menurut al-Farabi, Allah menciptakan alam ini  melalui emanasi, dalam arti bahwa wujud   Tuhan melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi ini  terjadi   melalui tafakkur   (berfikir)   Tuhan   tentang   dzat-Nya   yang   merupakan   prinsip   dari   peraturan   dan kebaikan dalam alam. Dengan kata lain, berpikirnya Allah swt tentang dzat-Nya adalah sebab   dari   adanya   alam   ini.   Dalam   arti   bahwa   ialah   yang   memberi   wujud   kekal   dari segala    yang   ada19[19].    Berfikirnya    Allah   tentang    dzatnya   sebagaimana kata  Sayyed Zayid, adalah ilmu Tuhan tentang diri-Nya, dan  ilmu itu adalah daya (al-Qudrah) yang menciptakan segalanya, agar sesuatu tercipta, cukup Tuhan mengetahui-Nya20[20] Ibnu   Sina   berpendapat   bahwa   akal   pertama   mempunyai   dua   sifat   :   sifat   wajibwujudnya   sebagai   pancaran   dari   Allah,   dan   sifat   mungkin   wujudnya jika   ditinjau   dari hakekat dirinya atau necessary by virtual of the necessary being and possible in essence. Dengan   demikian   ia   mempunyai   tiga   obyek   pemikiran   :   Tuhan,   dirinya   sebagai   wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya21[21]
Dari pemkiran tentang Tuhan timbul akal - akal dari pemikiran tentang dirinya sebagai    wajib    wujudnya     timbul   jiwa  -  jiwa   dari  pemikiran    tentang    dirinya   sebagai mungkin   wujudnya   timbul   di   langit.   Jiwa   manusia   sebagaimana   jiwa - jiwa   lain   dan segala apa yang terdapat di bawah Bulan, memancar dari akal ke sepuluh. Segi - segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua segi yaitu :
1.      Segi fisika yang membicarakan tentang macam - macamnya jiwa (jiwa tumbuhkan, jiwa   hewan   dan   jiwa    manusia).   Pembahasan       kebaikan    -  kebaikan,   jiwa   manusia, indera   dan   lain  -  lain   dan   pembahasan   lain   yang   biasa   termasuk   dalam   pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya.
2.      Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa22[22].

18[18] Harun Nasution, Islam Rasional , (Jakarta :  Mizan), hlm. 44
19[19] Al-farabi, Al-Da’awi al-Qalbiyyah, (Haidarabad : Dar al-Maarif al-Usmaniyah, 1349 H), hlm. 3-4
20[20] Lihat bukunya, Al-Farabi, (Kairo : Dar al-Maarif, 1962) hlm. 41
21[21] Harun Nasution, Falsafat … Opcit., hal 34-35
22[22] Ibid

Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bahagian :
        1.  Jiwa tumbuh - tumbuhan (                             ) dengan daya - daya :
·         Makan (nutrition)
·         Tumbuh (growth)
·         Berkembang biak ( reproduction)
        2.  Jiwa binatang (                        ) dengan daya - daya :
·         Gerak (locomotion)
·         Menangkap (perception) dengan dua bagian :
ü  Menagkap dari luar dengan panca indera
ü  Menangkap dari dalam dengan indera - indera dalam.
·         Indera bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera
·         Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama
·         Imaginasi yang dapat menyusun apa yang disimpan dalam representasi
·         Estimasi yang   dapat  menangkap hal-hal   abstraks  yang   terlepas  dari   materi umpamanya keharusan lari bagi kambing dari anjing serigala.
·         Rekoleksi yang menyimpan hal - hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
        3.  Jiwa manusia  (                         ) dengan daya - daya :
·          Praktis   yang   hubungannya dengan    badanTeoritis    yang  hubungannya      adalah dengan hal - hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan :
 a.   Akal   materiil  yang   semata  -  mata   mempunyai     potensi   untuk  berfikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun.
b.   Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal  - hal abstrak.
c.  Akal actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal - hal abstrak.
d.  Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal - hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya23[23].
Sifat   seseorang   bergantung   pada   jiwa   mana   dari   ketiga   macam   jiwa   tumbuh - tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai   binatang,   tetapi   jika  jiwa  manuisa   yang  mempunyai   pengaruh   atas   dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaekat dan dekat dengan kesempurnaan. Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu  unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari   badan.   Jiwa   manusia   timbul   dan   tercipta   tiap   kali   ada badan,    yang   sesuai   dan   dapat   menerima      jiwa,  lahir  didunia   ini.  Sungguh     pun   jiwa manusia tidak mempunyai fungsi  - fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan   karena   pada   permulaan   wujudnya   badanlah   yang   menolong   jiwa   manusia   untuk  dapat berfikir24[24].

23[23] Ibid., hal. 36 - 37
24[24] Harun Nasution, Falsafat …, Opcit., hal. 37 - 38

        Sedangkan menurut al-Ghazali di dalam buku-buku filsafatnya dia menyatakan bahwa manusia mempunyai identitas esensial yang tetap tidak berubah-ubah yaitu al-Nafs atau jiwanya25[25] . Adapun yang dimaksud tentang al-Nafs adalah “substansi yang berdiri sendiri yang tidak   bertempat”. Serta merupakan “tempat bersemayam pengetahuan-pengetahuan intelektual (al-ma’qulat) yang berasal dari alam al-malakut atau  al-amr.   Hal ini  menunjukkan   bahwa        esensi  manusia   bukan   fisiknya     dan   bukan fungsi   fisiknya.   Sebab   fisik   adalah   sesuatu   yang   mempunyai   tempat,   sedangkan   fungsi fisik adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri, karena keberadaannya tergantung kepada fisik. Sementara dalam penjelasannya yang lain, al-Ghazali menegaskan bahwa manusia   terdiri   atas   dua   substansi   pokok,   yakni   substansi   yang   berdimensi   dan   substansi yang tidak berdimensi, namun mempunyai kemampuan merasa dan bergerak dengan kemauan. Substansi   yang   pertama   dinamakan   badan   (al-jism )   dan   substansi   yang   kedua   disebut  jiwa ( al-nafs).26[26]
Jiwa (al-Nafs) memiliki daya – daya sebagai derivatnya dan atas dasar tingkatan daya – daya tersebut, pada diri manusia terdapat tiga jiwa (al-nufus al-tsalatsah) :
Pertama jiwa   tumbuhan   ( al-nafs   al-nabatiyah)   merupakan   tingkatan   jiwa yang paling rendah dan memiliki tiga daya 1) daya nutrisi (al-ghadiya), 2) daya tumbuh (al-munmiyah)   dan   3)   daya     reproduksi    (al-muwallidah),   dengan   daya   ini     manusia dapat berpotensi makan, tumbuh dan berkembang biak sebagaimana tumbuh – tumbuhan.
Kedua, jiwa hewani/sensitive (al-nafs al-hayawaniyah) yang memiliki dua daya
1) daya penggerak (al-mukharikah) dan 2) daya persepsi (al-mudrikah). Pada penggerakn (al-mukharikah) terdapat dua daya lagi yaitu 10 daya pendorong (al-baitsah) dan 2) daya berbuat   (al-fa’ilah ).   Hubungan   antara   daya   pertama   dengan   daya   kedua   sebagaimana hubungan daya potensi dan aktus, tetapi keduanya bersifat potensial sebelum mencapai aktualisasinya. Yang    pertama  merupakan kemauan dan   yang kedua   merupakan kemampuan.  Karena itu  al-Ghazali   menyebut     yang   pertama iradah  dan  yang   kedua qudrah.
Ketiga, jiwa rasional (al-nafs  al-natiqah). Mempunyai dua daya  !) daya  praktis (al- ‘amilah)   dan   20   daya   teoritis   (al-alimah).   Yang   pertama   berfungsi   menggerakkan tubuh melalui daya – daya jiwa sensitive / hewani. Sesuai dengan tuntutan pengetahuan yang   dicapai   oleh   akal   teorities.   Yang  dimaksud   akal   teoritis   adalah  al- ‘alimah,   sebab jiwa   rasional   disebut   juga al  ‘aql. Al- ‘alimah disebut   juga   akal   praktis.   Akal   praktis merupakan saluran     yang    menyampaikan   gagasan  akal teoritis   kepada daya  penggerak27[27].

25[25] Al-Ghazali, Ma’rij al-Quds fi Madarij Ma’rofah al-Nafs , (Kairo : Maktabah Al-Jund, 1968), hlm. 19.
26[26] Al-Ghazali, Madarij Al-salikin, (Kairo : Tsaqofa al-Islamiyah, 1964), hlm. 16
27[27] Al-Ghazali, Madarij Al-Salikin, (Kairo : Tsaqofah al-Islamiyah, 1964), hlm. 16

       Al-Ghazali   didalam     Tahafut   al-Falasifah  menyangkal   20   buah   kesalahan   para filosof muslim beserta pendahulu – pendahulu mereka yang berpaham teistik di Yunani. Para filosof yang disangkal oleh al-Ghazali ini terbagi kedalam tiga kelompok28[28] :
  1. Filosof – filosof materialistik (dahriyyun) Mereka adalah ateis – ateis yang menyangkal adanya Allah dan merumuskan kekekalan alam dan terciptanya alam dengan sendirinya. 
  2. Filosof – filosof naturalis atau desitik (thabi’iyyun). Mereka melaksanakan berbagai riset di dalam alam semesta dan segala sesuatu yang menakjubkan di dalam dunia binatang dan tumbuh – tumbuhan. Melalui riset-riset itu mereka cukup banyak menyaksikan keajaiban – keajaiban di dalam ciptaan  Allah dan mereka menemukan kebijaksanaan-Nya sehingga akhirnya mereka mau tak mau mengakui adanya satu pencipta yang Maha Bijaksana. Walaupun demikian mereka tetap menyangkal adanya hari pengadilan, kebangkitan kembali dan kehidupan akhirat. Mereka tidak mengenal pahala dan dosa, karenanya mereka memuaskan nafsu – nafsu mereka seperti binatang.
3.  Filosof – filosof teis (ilahiyyun).
Mereka adalah filosoh – filosof Yunani seperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Aristoteles telah mengkritik filosof – fiosof teis sebelumnya, termasuk Socrates dan Plato. Walaupun begitu, menurut al-Ghazali, Aristoteles masih mempertahankan sisa – sisa kekafiran dan kebidahan  mereka   yang tak berhasil dilepaskannya. Filsafat Aristoteles seperti yang disebarluaskan oleh penerjemah – penerjemah dan komentator – komentator karyanya (pengikutnya) khususnya al-Farabi dan Ibnu Sina terbagi ke dalam 3 kelompok :
        a.  Filsafat – filsafatnya yang harus dipandang kufur.
        b.  Filsafat – filsafatnya yang menurut Islam adalah bidah.
        c.  Filsafat – filsafatnya yang sama sekali tak perlu disangkal.
Tiga masalah yang menyebabkan kufur tersebut adalah :
Pertama, bahwa Allah  hanya   mengetahui hal-hal yang  besar-besar dan  tidak mengetahui hal-hal yang kecil-kecil29[29].
Kedua,      bahwa alam ini azali atau kekal, tanpa permulaan30[30].
Ketiga, bahwa di  akhirat  kelak   yang dihimpun  adalah  ruh  manusia bukan jasadnya 31[31]

28[28] Lihat al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalal, wa al-muwasshil ila dzi al-Izzah wa al-Jalal , di tahqiq oleh Dr.Jamil Shaliba dan Dr. Kamil „Iyad, Dar al-Andalus (Lebanon, Beirut, 1967), cet. VI, hlm. 76 – 77
29[29] Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, (Kairo, Mesir, Matbaah al-Qahirah, 1903), hlm 6
30[30] Ibid., hlm. 53
31[31] Ibid., hlm. 81

Ada  empat   dalil   yang   dikemukakan   oleh   Ibnu   Sina   untuk   membuktikan  adanya jiwa yaitu :
  • Dalil alam - kejiwaan (natural psikologi).
  • Dalil Aku dan kesatuan gejala - gejala kejiwaan. 
  • Dalil kelangsungan (kontinuitas)
  •  Dalil orang terbang atau orang tergantung di udara32[32]
Dalil – dalil tersebut apabila diuraikan satu persatu adalah sebagai berikut :
1.  Dalil Alam Kejiwaan

Pada diri kita ada peristiwa yang tidak mungkin di tafsirkan kecuali sesudah mengakui adanya jiwa. Peristiwa-peristiwa tersebut adalah gerak dan pengenalan (idrak, pengetahuan). Gerak ada dua macam yaitu :
  1. Gerak paksaan (harakah qahriah) yang timbul sebagai akibat dorongan dari luar dan yang menimpa sesuatu benda kemudian menggerakkannya. 
  2. Gerak bukan paksaan, dan gerak ini terbagi menjadi dua yaitu :
  • Gerak sesuai dengan ketentuan hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah.
  • Gerak yang terjadi dengan melawan hukum alam, seperti manusia yang berjalan di bumi, sedang berat badannya seharusnya menyebabkan ia diam, atau seperti burung yang terbang menjulang di udara, yang seharusnya jatuh (tetap) di sarangnya di atas bumi. Gerak yang berlawanan dengan ketentuan alam tersebut menghendaki adanya penggerak khusus yang melebihi unsur – unsur benda yang bergerak. Penggerak tersebut ialah jiwa.
Pengenalan (pengetahuan)     tidak   dimiliki   oleh  semua     mahluk,    tetapi  hanya    di miliki oleh sebagiannya. Yang memiliki pengenalan ini menunjukkan adanya kekuatan-kekuatan lain yang tidak terdapat pada lainnya. Begitulah isi dalil natural-psikologi dari Ibnu Sina yang didasarkan atas buku De Anima (Jiwa) dan Physics, kedua-duanya dari Aristoteles.

32[32] Ahmad Hanafi, Pengantar …,  Opcit., hal. 126

Namun dalil Ibnu Sina tersebut banyak berisi kelemahan-kelemahan antara lain bahwa natural (physic) pada dalil tersebut dihalalkan. Dalil tersebut baru mempunyai nilai kalau sekurangnya benda-benda tersebut hanya terdiri dari unsur-unsur yang satu macam, sedang benda-benda tersebut sebenarnya berbeda susunannya (unsur-unsurnya). Oleh karena itu maka tidak ada  keberatannya untuk mengatakan bahwa benda-benda yang bergerakmelawan   ketentuan alam berjalan   sesuai dengan tabiatnya  yang khas dan berisi   unsur-unsur   yang   memungkinkan   ia   bergerak.   Sekarang   ini   banyak   alat-alat (mesin)   yang   bergerak   dengan   gerak   yyang   berlawanan   dengan   hukum   alam,   namun seorang   pun   tidak   mengira   bahwa   alat-alat   (mesin-mesin)   terseut   berisi   jiwa   atau kekuatan   lain   yang   tidak   terlihat   dan   yang   menggerakkannya. Ulama-ulama biologisendiri sekarang menafsirkan fenomena kehidupan dengan tafsiran mekanis dan dinamis,  tanpa mengikut sertakan kekuatan psikologi (kejiwaan).
            Nampaknya Ibnu Sina sendiri menyadari kelemahan  dalil   tersebut. Oleh   karena itu  dalam   kitab-kitab   yang   dikarang  pada  masa  kematangan   ilmunya,   seperti  al-syifa dan  al-Isyarat ,   dalil   tersebut   disebutkan   sambil   lalu   saja,   dan   ia   lebih   mengutamakan dalil-dalil yang didasarkan atas segi-segi pikiran dan jiwa, yang merupakan genitalianya  Ibnu sina.33[33]
2.  Dalil Aku dan Kesatuan Gejala Kejiwaan.
Menurut   Ibnu   Sina   apabila   seorang   sedang   membicarakan   tentang   dirinya   atau mengajak      bicara   kepada     orang   lain,  maka     yang   dimaksudkan       ialah  jiwanya,    bukan badannya.   Jadi   ketika   kita   mengatakan  saya   keluar  atau saya   tidur,   maka   bukan   gerak kaki,   atau   pemejaman   mata   yang   dimaksudkan,   tetapi   hakikat   kita   dan   seluruh   pribadi kita.34[34]
3. Dalil Kelangsungan (kontinuitas).
Dalil ini mengatakan bahwa masa kita yang sekarang berisi juga masa lampau dan masa   depan.   Kehidupan   rohani   kita   pada   pagi   ini   ada   hubungannya   dengan   kehidupan kita   yang   kemarin,   dan   hubungan   ini   tidak   terputus   oleh   tidur   kita,   bahkan   juga   ada hubngannya dengan kehidupan kita yang terjadi beberapa tahun yang telah lewat. Kalau kita  ini bergerak dalam   mengalami perubahan, maka gerakan-gerakan dan perubahan tersebut bertalian satu sama lain dan berangkai – rangkai pula. Pertalian dan perangkaian  ini bisa terjadi karena peristiwa –  peristiwa jiwa merupakan limphan dari sumber   yang satu dan beredar sekitar titik tarik yang tetap. Ibnu Sina   dengan dalil  kelangsunga tersebut telah  membuka ciri kehidupan pikiran yang paling khas dan mencerminkan penyelidikan dan pembahasannya yang mendalam, bahkan telah mendahului masanya beberapa abad, karena pendapatnya tersebut dipegangi oleh ilmu jiwa modern dan telah mendekati tokoh-tokoh pikir masa  sekarang.35[35]
4.  Dalil Orang Terbang atau Tergantung di Udara.
Dalil ini adalah yang terindah dari Ibnu Sina dan yang paling jelas menunjukkan daya kreasinya. Meskipun dalil tersebut didasarkan atas perkiraan dan khayalan, namun tidak mengurangi  kemampuannya  untuk memberikan keyakinan.  

33[33] Ibid., hlm. 126 - 127
34[34] Ibid., hlm 127
35[35] Ibid., hlm. 128 – 129

        Dalil tersebut mengatakan sebagai berikut : “Andaikan ada seseorang yang mempunyai kekuatan yang penuh,   baik   akal   maupun   jasmani,   kemudian   ia   menutup   matanya   sehingga   tak   dapat melihat sama sekali apa yang ada di sekelilingnya kemudian ia diletakkan di udara atau dalam kekosongan, sehingga ia tidak merasakan sesuatu persentuhan atau bentrokan atau perlawanan,   dan   anggota-anggota badannya diatur sedemikian rupa   sehingga tidak sampai saling bersentuhan atau   bertemu. Meskipun ini semua terjadi namun orang tersebut    tidak   akan   ragu-ragu    bahwa    dirinya    itu  ada,  meskipun  ia  sukar   dapat menetapkan wujud salah satu bagian badannya.   Bahkan ia boleh jadi tidak mempunyai pikiran   sama   sekali   tentang   badan,   sedang   wujud   yang   digambarkannya   adalah   wujud yang tidak mempunyai tempat, atau panjang, lebar dan dalam (tiga dimensi). Kalau pada saat tersebut    ia  mengkhayalkan (memperkirakan) ada   tangan    dan   kakinya.    Dengan demikian   maka  penetapan   tentang  wujud   dirinya,   tidak   timbul   dari   indera   atau   melalui badan seluruhnya, melainkan dari sumber lain   yang berbeda sama sekali dengan badan yaitu jiwa.

        Dalil   Ibnu   Sina   tersebut   seperti   halnya   dengan   dalil   Descartes,   didasarkan   atas suatu hipotesa, bahwa pengenalan yang berbeda – beda mengharuskan adanya perkara – perkara    yang   berbeda-beda    pula.  Seseorang dapat   melepaskan      dirinya   dari  segala sesuatu, kecuali dari jiwanya yang menjadi dasar kepribadian dan dzatnya sendiri. Kalau kebenaran sesuatu dalam alam ini kita ketahui dengan adanya perantara (tidak langsung), maka satu kebenaran saja   yang kita ketahui dengan langsung,   yaitu jiwa dan kita tidak
bisa meragukan tentang wujudnya, meskipun sebentar saja, karena pekerjaan – pekerjaan jiwa selamanya menyaksikan adanya jiwa tersebut. 36[36]

B.   Filsafat Wujud.
Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan
diatas    segala   sifat  lain,  walaupun     essensi   sendiri.  Essensi,    dalam   faham     Ibnu   Sina terdapat   dalam   akal,   sedang   wujud   terdapat   di   luar  akal. Wujudlah yang   membuat   tiap essensi  yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari essensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan   bahwa   Ibnu   Sina   telah   terlebih   dahulu   menimbulkan   falsafat   wujudiah   atau existentialisasi dari filosof - filosof lain. Jika dikombinasikan, essensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut :

1.      Essensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina mumtani’yaitu sesuatu yang mustahil berwujud impossible being).
2.      Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut mumkin (                   ) yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
3.      Essensi    yang   tak   boleh   tidak   mesti   mempunyai   wujud.   Disini   essensi   tidak   bisa
dipisahkan dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini essensi tidak dimulai   oleh   tidak   berwujud   dan   kemudian   berwujud,   sebagaimana   halnya   dengan essensi    dalam   kategori   kedua,   tetapi  essensi   mesti  dan   wajib   mempunyai wujud selama - lamanya. Yang serupa ini disebut mestiberwujud(                        ) yaitu Tuhan. Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud37[37].

36[36] Ibid., hlm. 129
37[37] Harun Nasution,falsafat …, Opcit. , hal. 39-40

          Dalam pembagian wujud kepada wajib dan mumkin, tampaknya Ibnu Sina terpengaruh
oleh   pembagian   wujud   para   mutakallimun   kepada   :   baharu   (al-hadits)   dan   Qadim   (al-Qadim). Karena dalil mereka tentang wujud Allah didasarkan pada pembedaan - pembedaan “baharu” dan “qadim”  sehingga  mengharuskan  orang  berkata,  setiap  orang  yang  ada  selain  Allah  adalah  baharu,    yakni   didahului    oleh  zaman    dimana    Allah   tidak   berbuat   apa  - apa.    Pendirian ini mengakibatkan   lumpuhnya   kemurahan   Allah   pada   zaman   yang   mendahului   alam   mahluk   ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu lain. Dengan kata lain   perbuatan-Nya     tidak   Qadim    dan   tidak  mesti   wajib38[38].    Untuk    menghindari     keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina menyatakan sejak mula “bahwa sebab kebutuhan kepada al-
wajib (Tuhan) adalah mungkin, bukan baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada aktifnya 
iradah Allah sejak Qadim, sebelum Zaman39[39].

         Dari   pendapat   tersebut   terdapat   perbedaan   antara   pemikiran   para   mutakallimin dengan
pemikiran   Ibnu Sina. Dimana para mutakallimin anatar qadim dan baharu lebih sesuai dengan ajaran agama   tentang   Tuhan   yang   menjadikan   alam   menurut   kehendak-Nya,   sedangkan   dalil Ibnu   Sina   dalam   dirinya   terkandung   pemikiran   Yunani   bahwa   Tuhan   yang   tunduk   dibawah
“kemestian”, sehingga perbuatan-Nya telah ada sekaligus sejak qadim. “Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam 4 catatan sebagai  berikut :

Pertama,   perbuatan   yang   tidak   kontinu   (ghairi   mutajaddid)   yaitu   perbuatan   yang   telah
selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi   yang baharu. Dalam kitab An-Najah (hal. 372)   Ibnu Sina  berkata  :  “yang  wajib  wujud  (Tuhan)  itu  adalah  wajib  (mesti)  dari  segala  segi,  sehingga tidak terlambat wujud lain (wujud muntazhar)  - dari wuwud-Nya, malah semua yang mungkin menjadi wajib dengan-Nya. Tidak ada bagi-Nya kehendak yang baru, tidak ada tabiat yang baru, tidak ada ilmu yang baru dan tidak ada suatu sifat dzat-Nya yang baru”. Demikianlah perbuatan Allah telah selesai dan sempurna sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam pemikiran Ibnu Sina, seolah - olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah sesudah diciptakan.
Kedua,   perbuatan   Ilahi   itu   tidak   ada   tujuan   apapun.   Seakan  -  akan   telah   hilang   dari perbuatan sifat akal yang dipandang oleh Ibnu Sina sebagai hakekat Tuhan, dan hanya sebagai perbuatan mekanis karena tidak ada tujuan sama sekali.
Ketiga, manakala perbuatan Allah telah selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud, keluar dari-Nya berdasarkan “hukum kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu  pilihan dan kehendak bebas. Yang   dimaksudkan   dalam   catatan   ketiga   ini       yaitu   Ibnu   Sina menisbatkan   sifat yang paling rendah kepada Allah karena sejak semula ia menggambarkan “kemestian” pada Allah dari  segala   sudut.   Akibatnya   upaya   menetapkan   iradah   Allah   sesudah   itu   menjadi   sia  -  sia, akrena iradah    itu  tidak  lagi  bebas   sedikitpun    dan   perbuatan    yang   keluar   dari  kehendak     itu  adalah kemestian dalam arti yang sebenarnya. Jadi tidak ada kebebasan dan kehendak selagi kemestian telah melilit Tuhan sampai pada perbuatan-Nya, lebih - lebih lagi pada dzat-Nya.


38[38] Ahmad Daudy, Segi - Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Jakarta : Bula Bintang),  1984, hal. 42
39[39] Ibid.
                             
Keempat,  perbuatan  itu  hanyalah  “memberi  wujud”  dalam  bentuk  tertentu.  Untuk  memberi   wujud   ini   Ibnu   Sina   menyebutnya   dengan   beberapa   nama,   seperti   :   shudur   (keluar), faidh   (melimpah),   luzum   (mesti),   wujub   anhu   (wajib   darinya).   Nama - nama  ini  dipakai  oleh Ibnu  Sina  untuk  membebaskan  diri  dari  pikiran  “Penciptaan  Agamawi”,  karena  ia  berada  di  persimpangan       jalan  anatara  mempergunakan  konsep  Tuhan  sebagai  “sebab  pembuat”  (Illah  failah) seperti ajaran agama dengan konsep Tuhan sebagai sebab tujuan (Illah ghaiyyah) yang  berperan   sebagai   pemberi   kepada   materi   sehingga   bergerak   ke   arahnya   secara   gradual untuk memperoleh kesempurnaan40[40].
         Dalam     empat    catatan   tersebut   para   penulis   sejarah   dan   pengkritik   Ibnu   Sina  selalu memahami bahwa Ibnu Sina menggunakan konsep pertama yaitu konsep Tuhan sebagai “sebab  pembuat”. Tidak terpikir oleh mereka kemunginan Ibnu Sina menggunakan konsep kedua, yang menyatakan bahwa Tuhan tidak mencipta, tapi  hanya sebagai “tujuan”  semata. Semua mahluk  merindui     Tuhan   dan   bergerak   ke   arahNya   seperti     yang   terdapat   dalam    konsepsi   Aristoteles tentang keindahan seni dalan hubungan alam dengan Tuhan.
C. Falsafat Wahyu dan Nabi
         Pentingnya gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina telah diusahakan  untuk  dibangun  dalam  empat  tingkatan  :  intelektual,  “imajinatif”,  keajaiban,  dan sosio politis. Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikiran keagamaan. Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal  intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil. Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat, yang Ibnu Sina   diberi   nama  al   hads  yaitu   intuisi.   Daya   yang   ada   pada   akal   materiil   semua   ini   begitu besarnya,   sehingga   tanpa   melalui   latihan   dengan   mudah   dapat   berhubungan   dengan   akal   aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya   suci.   Inilah   bentuk   akal   tertinggi   yang  dapat   diperoleh   manusia   dan   terdapat   hanya   pada nabi - nabi41[41].
         Jadi wahyu dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada   agama     yang   hanya   berdasarkan   akal   murni.   Namun   demikian,   wahyu   teknis   ini,   dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak pelak lagi menderita karena dalam kenyataannya   wahyu   tersebut   tidak   memberikan   kebenaran   yang  sebenarnya,   tetapi   kebenaran dalam selubung simbol –  simbol. Namun sejauh mana wahyu itu mendorong ?. Kecuali kalau nabi dapat menyatakan wawasan moralnya ke dalam tujuan – tujuan dan prinsip – prinsip moral yang   memadai,   dan   sebenarnya   ke   dalam   suatu   struktur   sosial   politik,   baik   wawasan   maupun kekuatan   wahyu   imajinatifnya   tak   akan   banyak   berfaedah.   Maka   dari   itu,   nabi   perlu   menjadi seorang   pembuat   hukum   dan   seorang   negarawan   tertinggi    memang   hanya   nabilah  pembuat hukum dan negarawan yang sebenarnya.42[42]

40[40] Ibid, hal. 44 – 46
41[41] Harun Nasution, Falsafat…  op. cit. , hlm. 115
42[42] MM. Syarif, op. cit, hlm. 131
BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan

  1. Ibnu Sina memiliki pemikiran keagamaan yang mendalam. Pemahamannya mempengaruhi pandangan filsafatnya. Ketajaman pemikirannya dan kedalaman keyakinan  keagamaannya secara simultan mewarnai alam pikirannya. Ibnu Rusyd menyebutnya sebagai seorang yang agamis dalam berfilsafat,  sementara al-Ghazali menjulukinya sebagai Filsuf yang terlalu banyak berfikir.
  2.  Menurut Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan). Tuhan adalah  wujud pertama yang immateri dan dari-Nyalah memancar segala yang ada. 
  3. Tuhan adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan mumkinul wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak mujstahil). 
  4. Pemikiran Ibnu Sina tentang kenabian menjelaskan bahwa nabilah manusia yang paling unggul, lebih unggul dari filosof karena nabi memiliki akal aktual yang sempurna tanpa latihan atau studi keras, sedangkan filosof mendapatkannya dengan usaha dan susah payah.

DAFTA PUSTAKA

Al-Ahwan, Ahmad Fuad, Filsafat Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1984
Al-Ghazali Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, al-Munqidz min al-Dlalah wa
        al-Muwassil ila dzi al-Izzah wa al-Jalal , Lebanon, Beirut, 1967
____________, Madarij al-Salikin, Kairo, tsaqofah Islamiyah, 1964
____________, Ma’rij al-Quds fi Madaarij Ma’rofah al-Nafs , Kairo, Maktabah al-Jund, 1968
____________, Tahafut al-Falasifah, Kairo, Mesir, Maktabaah al-Qahirah, 1903
Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para filosof Muslim , Yogyakarta, Al-Amin Press, 1997
Daudy Ahmad, Dr. MA., Kuliah Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1986
_____________, Segi - Segi Falsafi dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1984
Hanafi, Ahmad, MA, Pengantar Filsafat Islam , Jakarta, Bulan Bintang, 1986
Imam     Munawir,   Mengenal     Pribadi   30   Pendekar    dan  Pemikir   Islam   dari  masa   ke  masa
 Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1985
Nasution, harun, Prof., Dr., Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya , Jakarta, Penerbit Universitas
Indonesia, 1996
_____________, Falsafat dan Msitisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1992
 Oemar Amin Husein, Dr., Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975
Poerwantana, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung, PT remaja Rosdakarya, 1991
Syarif, MM., MA., Para Filosof Muslim, Bandung, Mizan, 1994
Thawil   Akhyar   Dasoeki,  Sebuah   Kompilasi   Filsafat   Islam,   Semarang,   Dina   Utama   Semarang,
        1993
Zaenal Abidin Ahmad, Ibnu Sina (Avecenna) sarjana dan Filosof Dunia , Jakarta, Bulan Bintang,
        1949


5 komentar:

  1. Ibnu sina adalah Filosof islam yg sangat berpengaruh di Tanah eropa sedngkan di Islam dia dianggap sbgai imam besar bgi filosof

    BalasHapus
  2. Bagaimana cara ibnu sina membuktikan bahwa adanya Tuhan !

    BalasHapus