Pemikiran filsafat Ibnu Sina
B. RUMUSAN MASALAH
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibn Sina. Ia lahir pada tahun 980 M di Asfshana, suatu tempat dekat Bukhara. Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman3[3]. Di Bukhara ia dibesarkan serta belajar falsafah kedokteran dan ilmu-ilmu agama Islam. Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal Al-Qur'an seluruhnya4[4]. Dari mutafalsir Abu Abdullah Natili, Ibnu Sina mendapat bimbingan mengenai ilmu logika yang elementer untuk mempelajari buku Isagoge dan Porphyry, Euclid dan Al-Magest-Ptolemus. Dan sesudah gurunya pindah ia mendalami ilmu agama dan metafisika, terutama dari ajaran Plato dan Arsitoteles yang murni dengan bantuan komentator-komentator dari pengarang yang otoriter dari Yunani yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab.
Dengan ketajaman otaknya ia banyak mempelajari filsafat dan cabang-cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan ini menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya, namun disuatu kali dia harus terpaku menunggu saat ia menyelami ilmu metafisika-nya Arisstoteles, kendati sudah 40 an kali membacanya. Baru setelah ia membaca Agradhu kitab ma waraet thabie’ah li li Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua persoalan mendapat jawaban dan penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia mendapat kunci bagi segala simpanan ilmu metafisika. Maka dengan tulus ikhlas dia mengakui bahwa dia menjadi murid yang setia dari Al- Farabi 5[5]
Sewaktu berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan baik sekali, dan dapat pula mengunjungi perpustakaan yang penuh dengan buku-buku yang sukar didapat, kemudian dibacanya dengan segala keasyikan. Karena sesuatu hal, perpustakaan tersebut terbakar, maka tuduhan orang ditimpakan kepadanya, bahwa ia sengaja membakarnya, agar orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari perpustakaan itu8[8]. Kemampuan Ibnu Sina dalam bidang filsafat dan kedokteran, kedua duanya sama beratnya. Dalam bidang kedokteran dia mempersembahkan Al-Qanun fit-Thibb-nya,dimana ilmu kedokteran modern mendapat pelajaran, sebab kitab ini selain lengkap, disusunnya secara sistematis.
Dalam bidang material medeical, Ibnu Sina telah banyak menemukan bahan nabati baru Zanthoxyllum budrunga-dimana tumbuh-tumbuhan banayak membantuterhadap bebebrapa penyakit tertentu seperti radang selaput otak (miningitis). Ibnu Sina pula sebagai orang pertama yang menemukan peredaran darah manusia, dimana enam ratus tahun kemudian disempurnakan oleh William Harvey. Dia pulalah yang pertama kali mengatakan bahwa bayi selama masih dalam kandungan mengambil makanannya lewat tali pusarnya. Dia jugalah yang mula-mula mempraktekkan pembedahan penyakit-penyakit bengkak yang ganas, dan menjahitnya. Dan last but not list dia juga terkenal sebagai dokter ahli jiwa dengan cara-cara modern yang kini disebut psikoterapi .
Selain kepandaiannya sebagai flosof dan dokter, iapun penyair. Ilmu-ilmu pengetahuan seperti ilmu jiwa, kedokteran dan kimia ada yang ditulisnya dalam bentuk syair. Begitu pula didapati buku-buku yang dikarangnya untuk ilmu logika dengan syair.
Kebanyakan buku-bukunya telah disalin kedalam bahasa Latin. Ketika orang-orang Eropa diabad tengah, mulai mempergunakan buku-buku itu sebagai textbook, diberlbagai universitas. Oleh karena itu nama Ibnu Sina dalam abad pertengahan di Eropa sangat berpengaruh 10[10].
Dalam dunia Islam kitab-kitab Ibnu Sina terkenal, bukan saja karena kepadatan ilmunya, akan tetapi karena bahasanya yang baik dan caranya menulis sangat terang. Selain menulis dalam bahasa Arab, Ibnu Sina juga menulis dalam bahasa Persia. Buku-bukunya dalam bahasa Persia, telah diterbitkan di Teheran dalam tahun 1954.
Karya-karya Ibnu Sina yang ternama dalam lapangan Filsafat adalah As-Shifa, An-Najat dan Al Isyarat. An-Najat adalah resum dari kitab As-Shifa. Al-Isyarat, dikarangkannya kemudian, untuk ilmu tasawuf. Selain dari pada itu, ia banyak menulis karangan-karangan pendek yang dinamakan Maqallah. Kebanyakan maqallah ini ditulis ketika ia memperoleh inspirasi dalam sesuatu bentuk baru dan segera dikarangnya 11[11].
Kalau kaum Mu‟tazilah dalam usaha memurnikan tauhid pergi ke peniadaan sifat – sifat Tuhan dan kaum sufi ke peniadaan wujud selain dari wujud Allah swt, maka kaum filosof Islam yang dipelopori al-Farabi, pergi ke faham emanasi atau al-faidh . Lebih dari mu‟tazilah dan kaum sufi, al-Farabi berusaha meniadakan adanya arti banyak dalam diri Tuhan. Kalau Tuhan berhubungan langsung dengan alam yang tersusun dari banyak unsur ini, maka dalam pemikiran Tuhan terdapat pemikiran yang banyak. Pemikiran yang banyak membuat faham tauhid tidak murni lagi 18[18].
Sedangkan menurut al-Ghazali di dalam buku-buku filsafatnya dia menyatakan bahwa manusia mempunyai identitas esensial yang tetap tidak berubah-ubah yaitu al-Nafs atau jiwanya25[25] . Adapun yang dimaksud tentang al-Nafs adalah “substansi yang berdiri sendiri yang tidak bertempat”. Serta merupakan “tempat bersemayam pengetahuan-pengetahuan intelektual (al-ma’qulat) yang berasal dari alam al-malakut atau al-amr. Hal ini menunjukkan bahwa esensi manusia bukan fisiknya dan bukan fungsi fisiknya. Sebab fisik adalah sesuatu yang mempunyai tempat, sedangkan fungsi fisik adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri, karena keberadaannya tergantung kepada fisik. Sementara dalam penjelasannya yang lain, al-Ghazali menegaskan bahwa manusia terdiri atas dua substansi pokok, yakni substansi yang berdimensi dan substansi yang tidak berdimensi, namun mempunyai kemampuan merasa dan bergerak dengan kemauan. Substansi yang pertama dinamakan badan (al-jism ) dan substansi yang kedua disebut jiwa ( al-nafs).26[26]
Pada diri kita ada peristiwa yang tidak mungkin di tafsirkan kecuali sesudah mengakui adanya jiwa. Peristiwa-peristiwa tersebut adalah gerak dan pengenalan (idrak, pengetahuan). Gerak ada dua macam yaitu :
Namun dalil Ibnu Sina tersebut banyak berisi kelemahan-kelemahan antara lain bahwa natural (physic) pada dalil tersebut dihalalkan. Dalil tersebut baru mempunyai nilai kalau sekurangnya benda-benda tersebut hanya terdiri dari unsur-unsur yang satu macam, sedang benda-benda tersebut sebenarnya berbeda susunannya (unsur-unsurnya). Oleh karena itu maka tidak ada keberatannya untuk mengatakan bahwa benda-benda yang bergerakmelawan ketentuan alam berjalan sesuai dengan tabiatnya yang khas dan berisi unsur-unsur yang memungkinkan ia bergerak. Sekarang ini banyak alat-alat (mesin) yang bergerak dengan gerak yyang berlawanan dengan hukum alam, namun seorang pun tidak mengira bahwa alat-alat (mesin-mesin) terseut berisi jiwa atau kekuatan lain yang tidak terlihat dan yang menggerakkannya. Ulama-ulama biologisendiri sekarang menafsirkan fenomena kehidupan dengan tafsiran mekanis dan dinamis, tanpa mengikut sertakan kekuatan psikologi (kejiwaan).
33[33] Ibid., hlm. 126 - 127
Dalil tersebut mengatakan sebagai berikut : “Andaikan ada seseorang yang mempunyai kekuatan yang penuh, baik akal maupun jasmani, kemudian ia menutup matanya sehingga tak dapat melihat sama sekali apa yang ada di sekelilingnya kemudian ia diletakkan di udara atau dalam kekosongan, sehingga ia tidak merasakan sesuatu persentuhan atau bentrokan atau perlawanan, dan anggota-anggota badannya diatur sedemikian rupa sehingga tidak sampai saling bersentuhan atau bertemu. Meskipun ini semua terjadi namun orang tersebut tidak akan ragu-ragu bahwa dirinya itu ada, meskipun ia sukar dapat menetapkan wujud salah satu bagian badannya. Bahkan ia boleh jadi tidak mempunyai pikiran sama sekali tentang badan, sedang wujud yang digambarkannya adalah wujud yang tidak mempunyai tempat, atau panjang, lebar dan dalam (tiga dimensi). Kalau pada saat tersebut ia mengkhayalkan (memperkirakan) ada tangan dan kakinya. Dengan demikian maka penetapan tentang wujud dirinya, tidak timbul dari indera atau melalui badan seluruhnya, melainkan dari sumber lain yang berbeda sama sekali dengan badan yaitu jiwa.
Dalam pembagian wujud kepada wajib dan mumkin, tampaknya Ibnu Sina terpengaruh
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam banyak hal unik, sedang diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu-satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun
sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi
tradisi filsafat muslim beberapa abad 1[1].
Pengaruh ini terwujud bukan hanya
karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam menemukan
metode metode dan alasan-alasan yang diperlukan untuk merumuskan
kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam2[2].
B. RUMUSAN MASALAH
1. Mengetahui
Tentang biografi Ibnu Sina
2. Bagaimana
Pemikiran pemikiran Filsafat Ibnu Sina
BAB II
PEMBAHASAN
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibn Sina. Ia lahir pada tahun 980 M di Asfshana, suatu tempat dekat Bukhara. Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman3[3]. Di Bukhara ia dibesarkan serta belajar falsafah kedokteran dan ilmu-ilmu agama Islam. Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal Al-Qur'an seluruhnya4[4]. Dari mutafalsir Abu Abdullah Natili, Ibnu Sina mendapat bimbingan mengenai ilmu logika yang elementer untuk mempelajari buku Isagoge dan Porphyry, Euclid dan Al-Magest-Ptolemus. Dan sesudah gurunya pindah ia mendalami ilmu agama dan metafisika, terutama dari ajaran Plato dan Arsitoteles yang murni dengan bantuan komentator-komentator dari pengarang yang otoriter dari Yunani yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab.
Dengan ketajaman otaknya ia banyak mempelajari filsafat dan cabang-cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan ini menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya, namun disuatu kali dia harus terpaku menunggu saat ia menyelami ilmu metafisika-nya Arisstoteles, kendati sudah 40 an kali membacanya. Baru setelah ia membaca Agradhu kitab ma waraet thabie’ah li li Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua persoalan mendapat jawaban dan penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia mendapat kunci bagi segala simpanan ilmu metafisika. Maka dengan tulus ikhlas dia mengakui bahwa dia menjadi murid yang setia dari Al- Farabi 5[5]
End Notes:
1[1] M.M. Syarif, MA, Para Filosof
Muslim, (Bandung, Mizan) 1994, hal. 101, Ahmad Fuad Al-
Ahwani, Filsafat Islam, Pustaka
Firdaus, 1984, hal. 63
2[2] Ibid
3[3] Prof. Dr. Harun Nasution,
Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta : Penerbit
Universitas Indonesia), 1996, hal. 50
4[4] Dr. Ahmad Daudy, MA, Kuliah
Filsafat Islam , (Jakarta : Bulan Bintang), 1986, hal. 60
5[5] H. Zaenal Abidin Ahmad, Ibnu
Siena (Avecenna) Sarjana dan Filosuf Dunia, (Bulan Bintang), 1949, hal. 49
Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Belum lagi usianya
melebihi enam belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya.
Ia tidak cukup dengan teori - teori kedokteran, tetapi juga melakukan praktek
dan mengobati orang-orang sakit6[6]. Ia tidak pernah bosan atau gelisah dalam
membaca buku - buku filsafat dan setiap kali menghadapi kesulitan, maka ia memohon kepada Tuhan untuk diberinya petunjuk, dan ternyata permohonannya itu tidak pernah dikecewakan. Sering-sering ia tertidur karena kepayahan membaca, maka
didalam tidurnya itu dilihatnya pemecahan terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapinya7[7].
Sewaktu berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan baik sekali, dan dapat pula mengunjungi perpustakaan yang penuh dengan buku-buku yang sukar didapat, kemudian dibacanya dengan segala keasyikan. Karena sesuatu hal, perpustakaan tersebut terbakar, maka tuduhan orang ditimpakan kepadanya, bahwa ia sengaja membakarnya, agar orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari perpustakaan itu8[8]. Kemampuan Ibnu Sina dalam bidang filsafat dan kedokteran, kedua duanya sama beratnya. Dalam bidang kedokteran dia mempersembahkan Al-Qanun fit-Thibb-nya,dimana ilmu kedokteran modern mendapat pelajaran, sebab kitab ini selain lengkap, disusunnya secara sistematis.
Dalam bidang material medeical, Ibnu Sina telah banyak menemukan bahan nabati baru Zanthoxyllum budrunga-dimana tumbuh-tumbuhan banayak membantuterhadap bebebrapa penyakit tertentu seperti radang selaput otak (miningitis). Ibnu Sina pula sebagai orang pertama yang menemukan peredaran darah manusia, dimana enam ratus tahun kemudian disempurnakan oleh William Harvey. Dia pulalah yang pertama kali mengatakan bahwa bayi selama masih dalam kandungan mengambil makanannya lewat tali pusarnya. Dia jugalah yang mula-mula mempraktekkan pembedahan penyakit-penyakit bengkak yang ganas, dan menjahitnya. Dan last but not list dia juga terkenal sebagai dokter ahli jiwa dengan cara-cara modern yang kini disebut psikoterapi .
6[6] Ahmad Hanafi, MA, Pengantar
Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1996, hal. 115,
Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam,
Pustaka Firdaus, hal. 65
7[7] Ibid
8[8] Harun Nasution, Falsafat dan
Mistisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1992, hal. 34
Dibidang filsafat, Ibnu Sina dianggap sebagai imam para filosof di masanya, bahkan sebelum dan sesudahnya. Ibnu Sina otodidak dan genius
orisinil yang bukan hanya dunia Islam menyanjungnya ia memang merupakan satu bintang gemerlapan memancarkan cahaya sendiri, yang bukan pinjaman sehingga Roger Bacon, filosof kenamaan dari Eropa Barat pada Abad Pertengahan menyatakan
dalam Regacy of Islam-nya Alfred Gullaume; “Sebagian besar filsafat Aristoteles sedikitpun tak dapat memberi pengaruh
di Barat, karena kitabnya tersembunyi entah dimana, dan sekiranya ada, sangat
sukar sekali didapatnya dan sangat susah dipahami dan digemari orang karena peperangan-peperangan
yang meraja lela disebelah Timur, sampai saatnya Ibnu Sina dan Ibnu
Rusyd dan juga pujangga Timur lain membuktikan kembali falsafah Aristoteles
disertai dengan penerangan dan keterangan yang luas.”9[9]
Selain kepandaiannya sebagai flosof dan dokter, iapun penyair. Ilmu-ilmu pengetahuan seperti ilmu jiwa, kedokteran dan kimia ada yang ditulisnya dalam bentuk syair. Begitu pula didapati buku-buku yang dikarangnya untuk ilmu logika dengan syair.
Kebanyakan buku-bukunya telah disalin kedalam bahasa Latin. Ketika orang-orang Eropa diabad tengah, mulai mempergunakan buku-buku itu sebagai textbook, diberlbagai universitas. Oleh karena itu nama Ibnu Sina dalam abad pertengahan di Eropa sangat berpengaruh 10[10].
Dalam dunia Islam kitab-kitab Ibnu Sina terkenal, bukan saja karena kepadatan ilmunya, akan tetapi karena bahasanya yang baik dan caranya menulis sangat terang. Selain menulis dalam bahasa Arab, Ibnu Sina juga menulis dalam bahasa Persia. Buku-bukunya dalam bahasa Persia, telah diterbitkan di Teheran dalam tahun 1954.
Karya-karya Ibnu Sina yang ternama dalam lapangan Filsafat adalah As-Shifa, An-Najat dan Al Isyarat. An-Najat adalah resum dari kitab As-Shifa. Al-Isyarat, dikarangkannya kemudian, untuk ilmu tasawuf. Selain dari pada itu, ia banyak menulis karangan-karangan pendek yang dinamakan Maqallah. Kebanyakan maqallah ini ditulis ketika ia memperoleh inspirasi dalam sesuatu bentuk baru dan segera dikarangnya 11[11].
9[9] Imam Munawir, Mengenal Pribadi
30 Pendekar dan Pemikir Islam dari masa ke masa ,
(Surabaya : PT. Bina Ilmu), 1985, hal.
332 - 333
10[10] Oemar Amin Hoesin, Filsafat
Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1975, hal. 112 - 113
11[11] Ibid
Sekalipun
ia hidup dalam waktu penuh kegoncangan dan sering sibuk dengan soal negara, ia menulis sekitar dua ratus lima puluh karya. Diantaranya
karya yang paling masyhur adalah “Qanun” yang merupakan ikhtisar
pengobatan Islam dan diajarkan hingga kini di Timur. Buku ini dterjemahkan ke baasa Latin dan
diajarkan berabad lamanya di Universita Barat. Karya keduanya adalah
ensiklopedinya yang monumental “Kitab As-Syifa”. Karya ini merupakan titik puncak filsafat paripatetik dalam Islam. 12[12]
Diantara karangan - karangan Ibnu Sina
adalah :
1. As- Syifa‟ (The Book of Recovery or The Book of Remedy = Buku tentang Penemuan, atau Buku tentang Penyembuhan). Buku ini dikenal didalam bahasa Latin dengan nama Sanatio, atau Sufficienta. Seluruh buku ini terdiri atas 18 jilid, naskah selengkapnya sekarang ini tersimpan di Oxford University London. Mulai ditulis pada usia 22 tahun (1022 M) dan berakhir pada tahun wafatnya (1037 M). Isinya terbagi atas 4 bagian, yaitu :
1. As- Syifa‟ (The Book of Recovery or The Book of Remedy = Buku tentang Penemuan, atau Buku tentang Penyembuhan). Buku ini dikenal didalam bahasa Latin dengan nama Sanatio, atau Sufficienta. Seluruh buku ini terdiri atas 18 jilid, naskah selengkapnya sekarang ini tersimpan di Oxford University London. Mulai ditulis pada usia 22 tahun (1022 M) dan berakhir pada tahun wafatnya (1037 M). Isinya terbagi atas 4 bagian, yaitu :
- Logika (termasuk didalamnya terorika dan syair) meliputi dasar karangan Aristoteles tentang logika dengan dimasukkan segala materi dari penulis-penulis Yunani kemudiannya.
- Fisika (termasuk psichologi, pertanian, dan hewan). Bagian-bagian Fisika meliputi kosmologi, meteorologi, udara, waktu, kekosongan dan gambaran).
- Matematika. Bagian matematika mengandung pandangan yang berpusat dari elemen-elemen Euclid, garis besar dari Almagest-nya Ptolemy, dan ikhtisar-ikhtisar tentang aritmetika dan ilmu musik.
- Metafisika. Bagian falsafah, poko pikiran Ibnu sina menggabungkan pendapat Aristoteles dengan elemen-elemennya Neo Platonic dan menyusun dasar percobaan untuk menyesuaikan ide-ide Yunani dengan kepercayaan - kepercayaan. Dalam zaman pertengahan Eropa, buku ini menjadi standar pelajaran filsafat di berbagai sekolah tinggi.
2.
Nafat, buku ini adalah ringkasan dari buku As-Syifa‟.
3. Qanun, buku ini adalah
buku lmu kedokteran, dijadikan buku pokok
pada Universitas Montpellier
(Perancis) dan Universitas Lourain (Belgia).
4. Sadidiyya.
Buku ilmu kedokteran.
5. Al-Musiqa.
Buku tentang musik.
6. Al-Mantiq, diuntukkan buat Abul Hasan Sahli.
7.
Qamus el Arabi, terdiri atas lima jilid.Danesh Namesh. Buku filsafat.
8.
Danesh Nameh. Buku filsafat.
9.
Uyun-ul Hikmah. Buku filsafat terdiri atas 10 jilid.
12[12] Nasir Masruwah, taufik
Falsafah Al-Islamiyah, hal. 11
10. Mujiz, kabir wa Shaghir. Sebuah buku yang
menerangkan tentang dasar-dasar ilmu logika secara lengkap.
11. Hikmah el-Masyriqiyyin. Falsafah Timur (Britanica Encyclopedia vol II, hal. 915 menyebutkan kemungkinan besar buku ini telah hilang).
12. Al-Inshaf. Buku tentang Keadilan Sejati.
13. Al-Hudud Berisikan istilah-istilah dan
pengertian-pengertian yang dipakai didalam ilmu filsafat.
14. Al-Isyarat wat Tanbiehat. Buku ini lebih
banyak membicarakan dalil-dalil dan peringatan-peringatan yang mengenai prinsip Ketuhanan dan
Keagamaan.
15. An-Najah, (buku tentang kebahagiaan Jiwa)
16. dan sebagainya 13[13]
Dari
autobiografi dan karangan
- karangannya dapat diketahui
data tentang sifat - sifat kepribadianhya, misalnya :
1. Mengagumi dirinya sendiri.
Kekagumannya akan
dirinya ini diceritakan
oleh temannya sendiri
yakni Abu Ubaid
al- Jurjani. Antara lain
dari ucapan Ibnu
Sina sendiri, ketika
aku berumur 10
tahun aku telah hafal Al-Qur‟an dan sebagian besar kesusateraan
hinga aku dikagumi.
2. Mandiri dalam pemikiran.
Sifat ini
punya hubungan erat
sudah nampak pada
Ibnu Sina sejak
masa kecil. Terbukti dengan ucapannya “Bapakku dipandang
penganut madzhab Syi‟ah
Ismailiah. Demikian juga saudaraku. Aku dengar mereka menyebtnya
tentang jiwa dan akal, mereka
mendiskusikan tentang jiwa dan akal menurut pandangan mereka. Aku mendengarkan, memahami diskusi ini, tetapi jiwaku tak
dapat menerima pandangan mereka”.
13[13] Thawil akhyar Dasoeki,
Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Semarang : Dina Utama Semarang), 1993, hal.
37 – 39
3. Menghayati agama, tetapi belum ke tingkat
zuhud dan wara‟.
Kata Ibnu Sina, setiap
argumentasi kuperhatikan muqaddimah qiyasiyahnya setepat-tepatnya, juga
kuperhatikan kemungkinan kesimpulannya. Kupelihara syarat - syarat muqaddimahnya, sampai
aku yakin kebenaran
masalah itu. Bilamana
aku bingung tidak berhasil kepada
kesimpulan pada analogi
itu, akupun pergi
sembahyang menghadap maha Pencipta, sampai dibukakan-Nya
kesulitan dan dimudahkan-Nya kesukaran.
4. Rajin
mencari ilmu, keterangan
beliau “saya tenggelam
dalam studi ilmu
dan membaca selama satu setengah tahun. Aku tekun studi
bidang logika dan filsafat, saya tidak tidur satu malam suntuk selama itu.
Sedang siang hari saya tidak sibuk dengan hal - hal lainnya”
5. Pendendam. Dia meredam dendam
itu dalam dirinya
terhadap orang yang menyinggung perasaannya. Dia hormat bila dihormati.
6. Cepat melahirkan karangan
Ibnu Sina dengan cepat memusatkan
pikirannya dan mendapatkan garis - garis besar dari isi pikirannya serta
dia dengan mudah
melahirkannya kepada orang
lain. Menuangkan isi
pikiran dengan memilih
kalimat/ kata-kata yang
tepat, amat mudah
bagi dia. Semua
itu berkat pembiasaan, kesungguhan dan latihan dan kedisiplinan yang
dilakukannya. 14[14]
Ibnu
Sina dikenal di
Barat dengan nama
Avicena (Spanyol aven
Sina) dan kemasyhurannya di dunia
Barat sebagai dokter
melampaui kemasyhuran sebagai
Filosof, sehingga ia mereka beri gelar “the Prince of the Physicians”.
Di dunia Islam ia dikenal dengan nama
Al-Syaikh - al-Rais . Pemimpin utama (dari filosof - filosof) 15[15].
Meskipun ia di akui sebagai seorang
tokoh dalam keimanan, ibadah dan keilmuan, tetapi baginya minum – minuman keras
itu boleh, selama tidak untuk memuaskan hawa nafsu. Minum– minuman keras
dilarang karena bias
menimbulkan permusuhan dan
pertikaian, sedangkan apabila ia
minum tidak demikian malah menajamkan pikiran.
Didalam al-Muniqdz min al-Dhalal,
al-Ghazali bahwa Ibnu Sina pernah berjanji kepada Allah dalam
salah satu wasiatnya,
antara lain bahwa
ia akan menghormati
syari‟at tidak
melalaikan ibadah ruhani
maupun jasmani dan
tidak akan minum–minuman kerasuntuk memuaskan nafsu,
melainkan demi kesehatan dan obta.
Kehidupan Ibnu Sina penuh dengan
aktifitas -aktifitas kerja keras. Waktunya dihabiskan untuk urusan negara dan
menulis, sehingga ia mempunyai sakit maag yang tidak dapat terobati. Di usia 58
tahun (428 H / 1037 M) Ibnu Sina meninggal dan dikuburkan di Hamazan.
14[14] Busyairi Madjidi, Konsep Pendidikan
Para Filosof Muslim, (Yogyakarta : Al-Amin
Press). 1997, hal. 47 - 51
15[15] Harun Nasution, Islam di
tinjau dari berbagai aspeknya , jilid II, (jakarta : UI), 1986, hal. 51
1. Filsafat
Jiwa
Ibnu Sina memberikan
perhatiannya yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan, sebagaimana yang
dapat kita lihat
dari buku - buku
yang khusus untuk
soal - soal kejiwaan ataupun buku - buku yang berisi
campuran berbagai persoalan filsafat. Memang
tidak sukar untuk
mencari unsur -
unsur pikiran yang
membentuk teorinya tentang kejiwaan, seperti pikiran -
piiran Aristoteles, Galius
atau Plotinus, terutama pikiran-
pikiran Aristoteles yang banyak dijadikan
sumber pikiran-pikirannya. Namun hal ini tidak berarti bahwa Ibnu Sina tidak
mempunyai kepribadian sendiri atau pikiran - pikiran yang
sebelumnya, baik dalam
segi pembahasan fisika
maupun segi pembahasan
metafisika.
Dalam segi fisika, iabanyak memakai metode eksperimen dan banyak
terpengaruh oleh pembahasan lapangan kedokteran. Dalam segi metafisika terdapat kedalaman dan
pembaharuan yang menyebabkan
dia mendekati pendapat
- pendapat filosof modern 16[16]. Pengaruh Ibnu Sina
dalam soal kejiwaan tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir Arab
sejak abad ke
sepuluh Masehi sampai
akhir abad ke 19 M, terutama
pada Gundisallinus, Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon dan
Dun Scot 17[17].
Pemikiran terpenting
yang dihasilkan Ibnu
Sina ialah falsafatnya
tentang jiwa. Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham
pancaran. Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal
pertama memancar akal
kedua dan langit
pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke
sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala apa
yang terdapat di
bumi yang berada
dibawah bulan. Akal
pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah
Jibril. Pemikiran ini berbeda
dengan pemikiran kaum
sufi dan kaum
mu‟tazilah. Bagi kaum
sufi kemurnian tauhid
mengandung arti bahwa
hanya Tuhan yang
mempunyai wujud. Kalau ada yang lain yang mempunyai wujud hakiki
disamping Tuhan, itu
mngandung arti bahwa
ada banyak wujud, dan dengan demikian merusak tauhid. Oleh karena itu mereka berpendapat : Tiada
yang berwujud selain dari Allah swt. Semua yang lainnya pada hakikatnya tidak
ada. Wujud yang lain itu adalah wujud
bayangan. Kalau dibandingkan dengan
pohon dan bayangannya, yang sebenarnya mempunyai wujud adalah pohonnya, sedang bayangannya
hanyalah gambar yang seakan – akan tidak
ada. Pendapat inilah kemudian
yang membawa kepada
paham wahdat al-wujud
(kesatuan wujud), dalam arti wujud bayangan bergantung pada wujud yang punya bayangan. Karena itu ia pada hakekatnya
tidak ada; bayangan tidak ada. Wujud bayangan bersatu dengan wujud yang punya
bayangan.
16[16] Ahmad Hanafi, Pengantar …,
hal. 125 - 126
17[17] Ibid.
Kalau kaum Mu‟tazilah dalam usaha memurnikan tauhid pergi ke peniadaan sifat – sifat Tuhan dan kaum sufi ke peniadaan wujud selain dari wujud Allah swt, maka kaum filosof Islam yang dipelopori al-Farabi, pergi ke faham emanasi atau al-faidh . Lebih dari mu‟tazilah dan kaum sufi, al-Farabi berusaha meniadakan adanya arti banyak dalam diri Tuhan. Kalau Tuhan berhubungan langsung dengan alam yang tersusun dari banyak unsur ini, maka dalam pemikiran Tuhan terdapat pemikiran yang banyak. Pemikiran yang banyak membuat faham tauhid tidak murni lagi 18[18].
Menurut al-Farabi, Allah menciptakan alam ini
melalui emanasi, dalam arti bahwa wujud Tuhan melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi
melalui tafakkur (berfikir) Tuhan
tentang dzat-Nya yang
merupakan prinsip dari
peraturan dan kebaikan dalam alam.
Dengan kata lain, berpikirnya Allah swt tentang dzat-Nya adalah sebab dari
adanya alam ini. Dalam
arti bahwa ialah
yang memberi wujud
kekal dari segala yang
ada19[19]. Berfikirnya Allah
tentang dzatnya sebagaimana kata Sayyed Zayid, adalah ilmu Tuhan tentang
diri-Nya, dan ilmu itu adalah daya
(al-Qudrah) yang menciptakan segalanya, agar sesuatu tercipta, cukup Tuhan
mengetahui-Nya20[20] Ibnu Sina
berpendapat bahwa akal
pertama mempunyai dua
sifat : sifat
wajibwujudnya sebagai pancaran
dari Allah, dan
sifat mungkin wujudnya jika ditinjau
dari hakekat dirinya atau necessary by virtual of the necessary being
and possible in essence. Dengan
demikian ia mempunyai
tiga obyek pemikiran
: Tuhan, dirinya
sebagai wajib wujudnya dan
dirinya sebagai mungkin wujudnya21[21]
Dari
pemkiran tentang Tuhan timbul akal - akal dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib
wujudnya timbul jiwa
- jiwa dari
pemikiran tentang
dirinya sebagai mungkin wujudnya
timbul di langit.
Jiwa manusia sebagaimana
jiwa - jiwa lain
dan segala apa yang terdapat di bawah Bulan, memancar dari akal ke
sepuluh. Segi - segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis besarnya dapat dibagi
menjadi dua segi yaitu :
1.
Segi
fisika yang membicarakan tentang macam - macamnya jiwa (jiwa tumbuhkan, jiwa hewan
dan jiwa manusia).
Pembahasan kebaikan -
kebaikan, jiwa manusia, indera dan
lain - lain
dan pembahasan lain
yang biasa termasuk
dalam pengertian ilmu jiwa yang
sebenarnya.
2.
Segi
metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa
dengan badan dan keabadian jiwa22[22].
18[18] Harun Nasution, Islam
Rasional , (Jakarta : Mizan), hlm. 44
19[19] Al-farabi, Al-Da’awi
al-Qalbiyyah, (Haidarabad : Dar al-Ma‟arif
al-Usmaniyah, 1349 H), hlm. 3-4
20[20] Lihat bukunya, Al-Farabi,
(Kairo : Dar al-Ma‟arif,
1962) hlm. 41
21[21] Harun Nasution, Falsafat …
Opcit., hal 34-35
22[22] Ibid
Ibnu
Sina membagi jiwa dalam tiga bahagian :
1.
Jiwa tumbuh - tumbuhan ( ) dengan daya - daya :
·
Makan
(nutrition)
·
Tumbuh
(growth)
·
Berkembang
biak ( reproduction)
2.
Jiwa binatang (
) dengan daya - daya :
·
Gerak
(locomotion)
·
Menangkap
(perception) dengan dua bagian :
ü Menagkap dari luar dengan panca
indera
ü Menangkap dari dalam dengan
indera - indera dalam.
·
Indera
bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera
·
Representasi
yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama
·
Imaginasi
yang dapat menyusun apa yang disimpan dalam representasi
·
Estimasi yang
dapat menangkap hal-hal
abstraks yang terlepas
dari materi umpamanya keharusan
lari bagi kambing dari anjing serigala.
·
Rekoleksi
yang menyimpan hal - hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
3.
Jiwa manusia ( ) dengan daya - daya :
·
Praktis
yang hubungannya dengan
badanTeoritis yang
hubungannya adalah dengan hal
- hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan :
a.
Akal materiil yang
semata - mata
mempunyai potensi untuk
berfikir dan belum dilatih walaupun
sedikitpun.
b. Intelectual in habits, yang telah mulai
dilatih untuk berfikir tentang hal - hal
abstrak.
c. Akal actuil, yang telah dapat berfikir
tentang hal - hal abstrak.
d. Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup
berfikir tentang hal - hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya23[23].
Sifat seseorang
bergantung pada jiwa
mana dari ketiga
macam jiwa tumbuh - tumbuhan, binatang dan manusia yang
berpengaruh pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang,
tetapi jika jiwa
manuisa yang mempunyai
pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai
malaekat dan dekat dengan kesempurnaan. Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan.
Jiwa manusia timbul
dan tercipta tiap kali ada badan,
yang sesuai dan
dapat menerima jiwa,
lahir didunia ini.
Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi - fungsi fisik, dan dengan demikian tak
berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa
masih berhajat pada badan karena pada
permulaan wujudnya badanlah
yang menolong jiwa
manusia untuk dapat berfikir24[24].
23[23] Ibid., hal. 36 - 37
24[24] Harun Nasution, Falsafat …,
Opcit., hal. 37 - 38
Sedangkan menurut al-Ghazali di dalam buku-buku filsafatnya dia menyatakan bahwa manusia mempunyai identitas esensial yang tetap tidak berubah-ubah yaitu al-Nafs atau jiwanya25[25] . Adapun yang dimaksud tentang al-Nafs adalah “substansi yang berdiri sendiri yang tidak bertempat”. Serta merupakan “tempat bersemayam pengetahuan-pengetahuan intelektual (al-ma’qulat) yang berasal dari alam al-malakut atau al-amr. Hal ini menunjukkan bahwa esensi manusia bukan fisiknya dan bukan fungsi fisiknya. Sebab fisik adalah sesuatu yang mempunyai tempat, sedangkan fungsi fisik adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri, karena keberadaannya tergantung kepada fisik. Sementara dalam penjelasannya yang lain, al-Ghazali menegaskan bahwa manusia terdiri atas dua substansi pokok, yakni substansi yang berdimensi dan substansi yang tidak berdimensi, namun mempunyai kemampuan merasa dan bergerak dengan kemauan. Substansi yang pertama dinamakan badan (al-jism ) dan substansi yang kedua disebut jiwa ( al-nafs).26[26]
Jiwa
(al-Nafs) memiliki daya – daya sebagai derivatnya dan atas dasar tingkatan daya
– daya tersebut, pada diri manusia terdapat tiga jiwa (al-nufus al-tsalatsah) :
Pertama jiwa tumbuhan
( al-nafs al-nabatiyah) merupakan
tingkatan jiwa yang paling
rendah dan memiliki tiga daya 1) daya nutrisi (al-ghadiya), 2) daya tumbuh (al-munmiyah) dan
3) daya reproduksi (al-muwallidah), dengan
daya ini manusia dapat berpotensi makan, tumbuh dan
berkembang biak sebagaimana tumbuh – tumbuhan.
Kedua, jiwa hewani/sensitive (al-nafs
al-hayawaniyah) yang memiliki dua daya
1) daya penggerak (al-mukharikah)
dan 2) daya persepsi (al-mudrikah). Pada penggerakn (al-mukharikah) terdapat
dua daya lagi yaitu 10 daya pendorong (al-baitsah) dan 2) daya berbuat (al-fa’ilah ). Hubungan
antara daya pertama
dengan daya kedua
sebagaimana hubungan daya potensi dan aktus, tetapi keduanya bersifat
potensial sebelum mencapai aktualisasinya. Yang pertama
merupakan kemauan dan yang
kedua merupakan kemampuan. Karena itu
al-Ghazali menyebut yang
pertama iradah dan yang
kedua qudrah.
Ketiga, jiwa rasional (al-nafs al-natiqah). Mempunyai dua daya !) daya
praktis (al- ‘amilah) dan 20
daya teoritis (al-alimah). Yang
pertama berfungsi menggerakkan tubuh melalui daya – daya jiwa
sensitive / hewani. Sesuai dengan tuntutan pengetahuan yang dicapai
oleh akal teorities.
Yang dimaksud akal
teoritis adalah al- ‘alimah,
sebab jiwa rasional disebut
juga al ‘aql. Al- ‘alimah
disebut juga akal
praktis. Akal praktis merupakan saluran yang
menyampaikan gagasan akal teoritis kepada daya penggerak27[27].
25[25] Al-Ghazali, Ma’rij al-Quds
fi Madarij Ma’rofah al-Nafs , (Kairo : Maktabah Al-Jund, 1968), hlm. 19.
26[26] Al-Ghazali, Madarij
Al-salikin, (Kairo : Tsaqofa al-Islamiyah, 1964), hlm. 16
27[27] Al-Ghazali, Madarij
Al-Salikin, (Kairo : Tsaqofah al-Islamiyah, 1964), hlm. 16
Al-Ghazali didalam
Tahafut al-Falasifah menyangkal
20 buah kesalahan
para filosof muslim beserta pendahulu – pendahulu mereka yang berpaham
teistik di Yunani. Para filosof yang disangkal oleh al-Ghazali ini terbagi
kedalam tiga kelompok28[28] :
- Filosof – filosof materialistik (dahriyyun) Mereka adalah ateis – ateis yang menyangkal adanya Allah dan merumuskan kekekalan alam dan terciptanya alam dengan sendirinya.
- Filosof – filosof naturalis atau desitik (thabi’iyyun). Mereka melaksanakan berbagai riset di dalam alam semesta dan segala sesuatu yang menakjubkan di dalam dunia binatang dan tumbuh – tumbuhan. Melalui riset-riset itu mereka cukup banyak menyaksikan keajaiban – keajaiban di dalam ciptaan Allah dan mereka menemukan kebijaksanaan-Nya sehingga akhirnya mereka mau tak mau mengakui adanya satu pencipta yang Maha Bijaksana. Walaupun demikian mereka tetap menyangkal adanya hari pengadilan, kebangkitan kembali dan kehidupan akhirat. Mereka tidak mengenal pahala dan dosa, karenanya mereka memuaskan nafsu – nafsu mereka seperti binatang.
3. Filosof – filosof teis (ilahiyyun).
Mereka adalah filosoh – filosof
Yunani seperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Aristoteles telah mengkritik filosof
– fiosof teis sebelumnya, termasuk Socrates dan Plato. Walaupun begitu, menurut
al-Ghazali, Aristoteles masih mempertahankan sisa – sisa kekafiran dan kebid‟ahan mereka
yang tak berhasil dilepaskannya. Filsafat Aristoteles seperti yang
disebarluaskan oleh penerjemah – penerjemah dan komentator – komentator
karyanya (pengikutnya) khususnya al-Farabi dan Ibnu Sina terbagi ke dalam 3
kelompok :
a.
Filsafat – filsafatnya yang harus dipandang kufur.
b.
Filsafat – filsafatnya yang menurut Islam adalah bid‟ah.
c.
Filsafat – filsafatnya yang sama sekali tak perlu disangkal.
Tiga masalah yang menyebabkan
kufur tersebut adalah :
Pertama, bahwa Allah hanya
mengetahui hal-hal yang besar-besar dan tidak mengetahui hal-hal yang kecil-kecil29[29].
Kedua, bahwa alam ini azali atau kekal, tanpa
permulaan30[30].
Ketiga, bahwa di akhirat
kelak yang dihimpun adalah
ruh manusia bukan jasadnya 31[31]
28[28] Lihat al-Ghazali, al-Munqidz
min al-Dhalal, wa al-muwasshil ila dzi al-Izzah wa al-Jalal , di tahqiq oleh Dr.Jamil Shaliba dan
Dr. Kamil „Iyad, Dar al-Andalus (Lebanon, Beirut, 1967), cet. VI, hlm. 76 – 77
29[29] Al-Ghazali, Tahafut
al-Falasifah, (Kairo, Mesir, Matba‟ah
al-Qahirah, 1903), hlm 6
30[30] Ibid., hlm. 53
31[31] Ibid., hlm. 81
Ada empat
dalil yang dikemukakan
oleh Ibnu Sina untuk
membuktikan adanya jiwa yaitu :
- Dalil alam - kejiwaan (natural psikologi).
- Dalil Aku dan kesatuan gejala - gejala kejiwaan.
- Dalil kelangsungan (kontinuitas)
- Dalil orang terbang atau orang tergantung di udara32[32]
Dalil – dalil tersebut apabila
diuraikan satu persatu adalah sebagai berikut :
1. Dalil Alam Kejiwaan
Pada diri kita ada peristiwa yang tidak mungkin di tafsirkan kecuali sesudah mengakui adanya jiwa. Peristiwa-peristiwa tersebut adalah gerak dan pengenalan (idrak, pengetahuan). Gerak ada dua macam yaitu :
- Gerak paksaan (harakah qahriah) yang timbul sebagai akibat dorongan dari luar dan yang menimpa sesuatu benda kemudian menggerakkannya.
- Gerak bukan paksaan, dan gerak ini terbagi menjadi dua yaitu :
- Gerak sesuai dengan ketentuan hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah.
- Gerak yang terjadi dengan melawan hukum alam, seperti manusia yang berjalan di bumi, sedang berat badannya seharusnya menyebabkan ia diam, atau seperti burung yang terbang menjulang di udara, yang seharusnya jatuh (tetap) di sarangnya di atas bumi. Gerak yang berlawanan dengan ketentuan alam tersebut menghendaki adanya penggerak khusus yang melebihi unsur – unsur benda yang bergerak. Penggerak tersebut ialah jiwa.
Pengenalan (pengetahuan) tidak
dimiliki oleh semua
mahluk, tetapi hanya
di miliki oleh sebagiannya. Yang memiliki pengenalan ini menunjukkan
adanya kekuatan-kekuatan lain yang tidak terdapat pada lainnya. Begitulah isi
dalil natural-psikologi dari Ibnu Sina yang didasarkan atas buku De Anima
(Jiwa) dan Physics, kedua-duanya dari Aristoteles.
32[32] Ahmad Hanafi, Pengantar
…, Opcit., hal. 126
Namun dalil Ibnu Sina tersebut banyak berisi kelemahan-kelemahan antara lain bahwa natural (physic) pada dalil tersebut dihalalkan. Dalil tersebut baru mempunyai nilai kalau sekurangnya benda-benda tersebut hanya terdiri dari unsur-unsur yang satu macam, sedang benda-benda tersebut sebenarnya berbeda susunannya (unsur-unsurnya). Oleh karena itu maka tidak ada keberatannya untuk mengatakan bahwa benda-benda yang bergerakmelawan ketentuan alam berjalan sesuai dengan tabiatnya yang khas dan berisi unsur-unsur yang memungkinkan ia bergerak. Sekarang ini banyak alat-alat (mesin) yang bergerak dengan gerak yyang berlawanan dengan hukum alam, namun seorang pun tidak mengira bahwa alat-alat (mesin-mesin) terseut berisi jiwa atau kekuatan lain yang tidak terlihat dan yang menggerakkannya. Ulama-ulama biologisendiri sekarang menafsirkan fenomena kehidupan dengan tafsiran mekanis dan dinamis, tanpa mengikut sertakan kekuatan psikologi (kejiwaan).
Nampaknya Ibnu Sina sendiri menyadari kelemahan dalil tersebut. Oleh karena itu dalam
kitab-kitab yang
dikarang pada masa
kematangan ilmunya, seperti
al-syifa dan al-Isyarat , dalil
tersebut disebutkan sambil
lalu saja, dan
ia lebih mengutamakan dalil-dalil yang didasarkan
atas segi-segi pikiran dan jiwa, yang merupakan genitalianya Ibnu sina.33[33]
2. Dalil Aku dan Kesatuan Gejala Kejiwaan.
Menurut Ibnu
Sina apabila seorang
sedang membicarakan tentang
dirinya atau mengajak bicara
kepada orang lain,
maka yang dimaksudkan ialah
jiwanya, bukan badannya. Jadi
ketika kita mengatakan
saya keluar atau saya
tidur, maka
bukan gerak kaki, atau
pemejaman mata yang
dimaksudkan, tetapi hakikat
kita dan seluruh
pribadi kita.34[34]
3. Dalil Kelangsungan
(kontinuitas).
Dalil ini
mengatakan bahwa masa kita yang sekarang berisi juga masa lampau dan masa depan.
Kehidupan rohani kita
pada pagi ini
ada hubungannya dengan
kehidupan kita yang kemarin,
dan hubungan ini
tidak terputus oleh
tidur kita, bahkan
juga ada hubngannya dengan
kehidupan kita yang terjadi beberapa tahun yang telah lewat. Kalau kita ini bergerak dalam mengalami perubahan, maka gerakan-gerakan dan perubahan tersebut bertalian satu
sama lain dan berangkai – rangkai pula. Pertalian dan perangkaian ini bisa terjadi karena peristiwa – peristiwa jiwa merupakan limphan dari
sumber yang satu dan beredar sekitar
titik tarik yang tetap. Ibnu Sina
dengan dalil kelangsunga tersebut telah membuka ciri kehidupan pikiran yang paling khas dan mencerminkan penyelidikan dan pembahasannya yang mendalam, bahkan telah mendahului masanya beberapa abad, karena pendapatnya tersebut
dipegangi oleh ilmu jiwa modern dan telah mendekati tokoh-tokoh pikir masa sekarang.35[35]
4. Dalil Orang Terbang atau Tergantung di Udara.
Dalil
ini adalah yang terindah dari Ibnu Sina dan yang paling jelas menunjukkan daya
kreasinya. Meskipun dalil tersebut didasarkan atas perkiraan dan khayalan,
namun tidak mengurangi kemampuannya
untuk memberikan keyakinan.
33[33] Ibid., hlm. 126 - 127
34[34] Ibid., hlm 127
35[35] Ibid., hlm. 128 – 129
Dalil tersebut mengatakan sebagai berikut : “Andaikan ada seseorang yang mempunyai kekuatan yang penuh, baik akal maupun jasmani, kemudian ia menutup matanya sehingga tak dapat melihat sama sekali apa yang ada di sekelilingnya kemudian ia diletakkan di udara atau dalam kekosongan, sehingga ia tidak merasakan sesuatu persentuhan atau bentrokan atau perlawanan, dan anggota-anggota badannya diatur sedemikian rupa sehingga tidak sampai saling bersentuhan atau bertemu. Meskipun ini semua terjadi namun orang tersebut tidak akan ragu-ragu bahwa dirinya itu ada, meskipun ia sukar dapat menetapkan wujud salah satu bagian badannya. Bahkan ia boleh jadi tidak mempunyai pikiran sama sekali tentang badan, sedang wujud yang digambarkannya adalah wujud yang tidak mempunyai tempat, atau panjang, lebar dan dalam (tiga dimensi). Kalau pada saat tersebut ia mengkhayalkan (memperkirakan) ada tangan dan kakinya. Dengan demikian maka penetapan tentang wujud dirinya, tidak timbul dari indera atau melalui badan seluruhnya, melainkan dari sumber lain yang berbeda sama sekali dengan badan yaitu jiwa.
Dalil
Ibnu Sina tersebut
seperti halnya dengan
dalil Descartes, didasarkan
atas suatu hipotesa, bahwa pengenalan yang berbeda – beda mengharuskan
adanya perkara – perkara yang berbeda-beda pula.
Seseorang dapat melepaskan dirinya
dari segala sesuatu, kecuali dari
jiwanya yang menjadi dasar kepribadian dan dzatnya sendiri. Kalau kebenaran
sesuatu dalam alam ini kita ketahui dengan adanya perantara (tidak langsung), maka
satu kebenaran saja yang kita ketahui
dengan langsung, yaitu jiwa dan kita
tidak
bisa
meragukan tentang wujudnya, meskipun sebentar saja, karena pekerjaan –
pekerjaan jiwa selamanya menyaksikan adanya jiwa tersebut. 36[36]
B. Filsafat Wujud.
Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan
yang mempunyai kedudukan
diatas segala
sifat lain, walaupun
essensi sendiri. Essensi,
dalam faham
Ibnu Sina terdapat dalam
akal, sedang wujud terdapat
di luar akal. Wujudlah yang membuat
tiap essensi yang dalam akal
mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh
sebab itu wujud lebih penting dari essensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa
Ibnu Sina telah
terlebih dahulu menimbulkan
falsafat wujudiah atau existentialisasi dari filosof - filosof
lain. Jika dikombinasikan, essensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut
:
1.
Essensi
yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina
mumtani’yaitu sesuatu yang mustahil berwujud impossible being).
2.
Essensi
yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa
ini disebut mumkin ( ) yaitu sesuatu yang mungkin
berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang
pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
3.
Essensi yang
tak boleh tidak
mesti mempunyai wujud.
Disini essensi tidak
bisa
dipisahkan dari wujud. Essensi
dan wujud adalah sama dan satu. Di sini essensi tidak dimulai oleh
tidak berwujud dan
kemudian berwujud, sebagaimana
halnya dengan essensi dalam
kategori kedua, tetapi
essensi mesti dan
wajib mempunyai wujud selama -
lamanya. Yang serupa ini disebut mestiberwujud( ) yaitu Tuhan. Wajib al
wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud37[37].
36[36] Ibid., hlm. 129
37[37]
Harun Nasution,falsafat …, Opcit. , hal. 39-40
Dalam pembagian wujud kepada wajib dan mumkin, tampaknya Ibnu Sina terpengaruh
oleh pembagian
wujud para mutakallimun kepada
: baharu (al-hadits)
dan Qadim (al-Qadim). Karena dalil mereka tentang
wujud Allah didasarkan pada pembedaan - pembedaan “baharu” dan “qadim” sehingga
mengharuskan orang berkata,
setiap orang yang
ada selain Allah
adalah baharu, yakni
didahului oleh zaman
dimana Allah tidak
berbuat apa - apa.
Pendirian ini mengakibatkan
lumpuhnya kemurahan Allah
pada zaman yang
mendahului alam mahluk
ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada
waktu lain. Dengan kata lain
perbuatan-Nya tidak Qadim
dan tidak mesti
wajib38[38]. Untuk menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina
menyatakan sejak mula “bahwa sebab kebutuhan kepada al-
wajib
(Tuhan) adalah mungkin, bukan baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada
aktifnya
iradah
Allah sejak Qadim, sebelum Zaman39[39].
Dari
pendapat tersebut terdapat
perbedaan antara pemikiran
para mutakallimin dengan
pemikiran Ibnu Sina. Dimana para mutakallimin anatar
qadim dan baharu lebih sesuai dengan ajaran agama tentang
Tuhan yang menjadikan
alam menurut kehendak-Nya, sedangkan
dalil Ibnu Sina dalam
dirinya terkandung pemikiran
Yunani bahwa Tuhan
yang tunduk dibawah
“kemestian”,
sehingga perbuatan-Nya telah ada sekaligus sejak qadim. “Perbuatan Ilahi” dalam
pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam 4 catatan sebagai berikut :
Pertama,
perbuatan yang tidak
kontinu (ghairi mutajaddid)
yaitu perbuatan yang
telah
selesai
sebelum zaman dan tidak ada lagi yang
baharu. Dalam kitab An-Najah (hal. 372)
Ibnu Sina berkata :
“yang wajib wujud
(Tuhan) itu adalah
wajib (mesti) dari
segala segi, sehingga tidak terlambat wujud lain (wujud
muntazhar) - dari wuwud-Nya, malah semua
yang mungkin menjadi wajib dengan-Nya. Tidak ada bagi-Nya kehendak yang baru,
tidak ada tabi‟at
yang baru, tidak ada ilmu yang baru dan tidak ada suatu sifat dzat-Nya yang
baru”. Demikianlah perbuatan Allah telah selesai dan sempurna sejak qadim,
tidak ada sesuatu yang baru dalam pemikiran Ibnu Sina, seolah - olah alam ini
tidak perlu lagi kepada Allah sesudah diciptakan.
Kedua,
perbuatan Ilahi itu
tidak ada tujuan
apapun. Seakan -
akan telah hilang
dari perbuatan sifat akal yang dipandang oleh Ibnu Sina sebagai hakekat
Tuhan, dan hanya sebagai perbuatan mekanis karena tidak ada tujuan sama sekali.
Ketiga, manakala perbuatan Allah telah
selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud, keluar dari-Nya berdasarkan “hukum
kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan kehendak bebas. Yang dimaksudkan
dalam catatan ketiga
ini yaitu Ibnu
Sina menisbatkan sifat yang paling
rendah kepada Allah karena sejak semula ia menggambarkan “kemestian” pada Allah
dari segala sudut.
Akibatnya upaya menetapkan
iradah Allah sesudah
itu menjadi
sia - sia, akrena iradah itu
tidak lagi bebas
sedikitpun dan perbuatan
yang keluar dari
kehendak itu adalah kemestian dalam arti yang sebenarnya.
Jadi tidak ada kebebasan dan kehendak selagi kemestian telah melilit Tuhan
sampai pada perbuatan-Nya, lebih - lebih lagi pada dzat-Nya.
38[38]
Ahmad Daudy, Segi - Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Jakarta : Bula
Bintang), 1984, hal. 42
39[39]
Ibid.
Keempat,
perbuatan itu hanyalah
“memberi wujud” dalam
bentuk tertentu. Untuk memberi wujud
ini Ibnu Sina
menyebutnya dengan beberapa
nama, seperti :
shudur (keluar), faidh (melimpah),
luzum (mesti), wujub
anhu (wajib darinya).
Nama - nama ini
dipakai oleh Ibnu Sina
untuk membebaskan diri
dari pikiran “Penciptaan
Agamawi”, karena ia
berada di persimpangan jalan
anatara mempergunakan konsep
Tuhan sebagai “sebab
pembuat” (Illah fa‟ilah)
seperti ajaran agama dengan konsep Tuhan sebagai sebab tujuan (Illah ghaiyyah)
yang berperan sebagai
pemberi kepada materi
sehingga bergerak ke
arahnya secara gradual untuk memperoleh kesempurnaan40[40].
Dalam empat
catatan tersebut para
penulis sejarah dan
pengkritik Ibnu Sina
selalu memahami bahwa Ibnu Sina menggunakan konsep pertama yaitu konsep
Tuhan sebagai “sebab pembuat”. Tidak
terpikir oleh mereka kemunginan Ibnu Sina menggunakan konsep kedua, yang menyatakan
bahwa Tuhan tidak mencipta, tapi hanya
sebagai “tujuan” semata. Semua
mahluk merindui Tuhan
dan bergerak ke
arahNya seperti yang
terdapat dalam konsepsi
Aristoteles tentang keindahan seni dalan hubungan alam dengan Tuhan.
C.
Falsafat Wahyu dan Nabi
Pentingnya gejala kenabian dan wahyu
ilahi merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina telah diusahakan untuk
dibangun dalam empat
tingkatan : intelektual,
“imajinatif”, keajaiban, dan sosio politis. Totalitas keempat
tingkatan ini memberi kita petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak dan arah
pemikiran keagamaan. Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil,
akal intelektual, akal aktuil, dan akal
mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal
materiil. Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang
besar lagi kuat, yang Ibnu Sina
diberi nama al
hads yaitu intuisi.
Daya yang ada
pada akal materiil
semua ini begitu besarnya, sehingga
tanpa melalui latihan
dengan mudah dapat
berhubungan dengan akal
aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal
serupa ini mempunyai daya suci. Inilah
bentuk akal tertinggi
yang dapat diperoleh
manusia dan
terdapat hanya pada nabi - nabi41[41].
Jadi wahyu dalam pengertian teknis
inilah yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya
murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada agama
yang hanya berdasarkan
akal murni. Namun
demikian, wahyu
teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang
diperlukan, juga tak pelak lagi menderita karena dalam kenyataannya wahyu
tersebut tidak memberikan
kebenaran yang sebenarnya,
tetapi kebenaran dalam selubung
simbol – simbol. Namun sejauh mana wahyu
itu mendorong ?. Kecuali kalau nabi dapat menyatakan wawasan moralnya ke dalam
tujuan – tujuan dan prinsip – prinsip moral yang memadai,
dan sebenarnya ke
dalam suatu struktur
sosial politik, baik
wawasan maupun kekuatan wahyu
imajinatifnya tak akan
banyak berfaedah. Maka
dari itu,
nabi perlu menjadi seorang pembuat
hukum dan seorang
negarawan tertinggi –
memang hanya nabilah
pembuat hukum dan negarawan yang sebenarnya.42[42]
40[40]
Ibid, hal. 44 – 46
41[41] Harun
Nasution, Falsafat… op. cit. , hlm. 115
42[42] MM.
Syarif, op. cit, hlm. 131
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
- Ibnu Sina memiliki pemikiran keagamaan yang mendalam. Pemahamannya mempengaruhi pandangan filsafatnya. Ketajaman pemikirannya dan kedalaman keyakinan keagamaannya secara simultan mewarnai alam pikirannya. Ibnu Rusyd menyebutnya sebagai seorang yang agamis dalam berfilsafat, sementara al-Ghazali menjulukinya sebagai Filsuf yang terlalu banyak berfikir.
- Menurut Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan). Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan dari-Nyalah memancar segala yang ada.
- Tuhan adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan mumkinul wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak mujstahil).
- Pemikiran Ibnu Sina tentang kenabian menjelaskan bahwa nabilah manusia yang paling unggul, lebih unggul dari filosof karena nabi memiliki akal aktual yang sempurna tanpa latihan atau studi keras, sedangkan filosof mendapatkannya dengan usaha dan susah payah.
DAFTA PUSTAKA
Al-Ahwan,
Ahmad Fuad, Filsafat Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1984
Al-Ghazali
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, al-Munqidz min al-Dlalah wa
al-Muwassil ila dzi al-Izzah wa al-Jalal
, Lebanon, Beirut, 1967
____________,
Madarij al-Salikin, Kairo, tsaqofah Islamiyah, 1964
____________,
Ma’rij al-Quds fi Madaarij Ma’rofah al-Nafs , Kairo, Maktabah al-Jund, 1968
____________,
Tahafut al-Falasifah, Kairo, Mesir, Maktaba‟ah al-Qahirah, 1903
Busyairi
Madjidi, Konsep Kependidikan Para filosof Muslim , Yogyakarta, Al-Amin Press,
1997
Daudy
Ahmad, Dr. MA., Kuliah Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1986
_____________,
Segi - Segi Falsafi dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1984
Hanafi,
Ahmad, MA, Pengantar Filsafat Islam , Jakarta, Bulan Bintang, 1986
Imam Munawir, Mengenal
Pribadi 30 Pendekar
dan Pemikir Islam
dari masa ke
masa
Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1985
Nasution,
harun, Prof., Dr., Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya , Jakarta, Penerbit
Universitas
Indonesia,
1996
_____________,
Falsafat dan Msitisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1992
Oemar Amin Husein, Dr., Filsafat Islam,
Jakarta, Bulan Bintang, 1975
Poerwantana,
dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung, PT remaja Rosdakarya, 1991
Syarif,
MM., MA., Para Filosof Muslim, Bandung, Mizan, 1994
Thawil Akhyar
Dasoeki, Sebuah Kompilasi
Filsafat Islam, Semarang,
Dina Utama Semarang,
1993
Zaenal
Abidin Ahmad, Ibnu Sina (Avecenna) sarjana dan Filosof Dunia , Jakarta, Bulan
Bintang,
1949
yoi,,
BalasHapusoh,,,
HapusIbnu sina adalah Filosof islam yg sangat berpengaruh di Tanah eropa sedngkan di Islam dia dianggap sbgai imam besar bgi filosof
BalasHapusBagaimana cara ibnu sina membuktikan bahwa adanya Tuhan !
BalasHapusMakasih Infonya
BalasHapus